Salah Membayangkan
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Dalam sebuah seminar pasca tsunami, Anthony A. Reid mengatakan bahwa Dr. T. Iskandar adalah yang membuka Aceh bagi dunia internasional. Saya kagum bercampur haru. Sejarawan itu memperkenalkan putra Aceh kepada orang Aceh, yang dikenal sebagai masyarakat yang gemar pada sejarah.
Pikiran saya melayang. Rasanya, nama itu tak begitu asing bagi saya. Karena itu, saya dan rekan mencoba memburu T. Iskandar untuk diwawancara yang menginap di rumah dr. T Makmur di Darussalam. Rupa-rupanya T. Iskandar pernah tinggal di belakang rumah, dan mengajar di Fakultas Ekonomi.
Lalu, beliau berkisah. Bagaimana anak Uleebalang Trienggadeng sampai ke Belanda. Ia sempat transit di rumah T. Nyak Arief, Lamnyong. Orangnya terkesan cerdas, dengan fisik yang kuat dan sangat sederhana. Beliau sudah meraih Doktor pada tahun saya dilahirkan, 1959.
T. Iskandar kembali ke Aceh untuk mengajar di Fakultas Ekonomi. Ia membayangkan kampus Darussalam dibangun seperti Prancis membangun universitas di Afrika. Tapi, rupanya gedung-gedung hanya dibangun oleh insinyur jembatan. Beliau salah membayangkan tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Kopelma Darussalam. Akhirnya beliau kembali menetap di Belanda.
Saya terpikir, mengapa orang begini (sosok Aceh yang langka), dari keturunan yang bagus, punya intelektualitas yang tinggi, relasi politik yang luas (beliau bercerita punya relasi dengan Muhammad Yamin bersaudara saat tinggal di Singapore) dan gaya hidup yang sederhana, tapi kita Aceh mengabaikannya?
Lalu, saat bertemu dengan Kuntoro, saya mengusulkan agar BRR membantu Universitas Syiah Kuala untuk memberikan gelar kehormatan, honoris causa kepada beliau. Kuntoro merespon, tentu dengan senang hati, tapi inisiatif itu harus muncul dari Universitas Syiah Kuala. Yang terakhir ini yang repot hingga gagasan itu tak terealisasi.
Dua hari lalu, saya berbincang santai dengan Gubernur Nova, bersama Wakil Ketua DPRA Hendra Budian, dan dosen Nizarli. Saya menyentil tentang pembangunan di Kopelma Darussalam.
Begini, kata Nova, bahwa saya ini sarjana arsitek, yang diperkenalkan dengan teori ekistik dari Doxiadis. Pertama, Darussalam itu bukanlah sebuah kompleks perumahan, tetapi sebuah area pemukiman.
Di mana orang yang bermukim di sana mempunyai ikatan historis dan psikologis, yang beda dengan sebuah perumahan, di mana orang bisa keluar-masuk dengan tanpa ikatan batin yang kuat.
Secara teoritis, lanjut Nova, Kopelma Darussalam harus mempertimbangkan perspektif ekistik, ilmu tentang pemukiman manusia. Di Darussalam, ada perihal kota, manusia (pelajar dan mahasiswa, juga dosen dan staf bersama keluarganya) dan aspek perdamaian (Darussalam).
Jadi, dari perspektif ekistik, ada 5 hal yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan Universitas di Kopelma Darussalam, yakni: (1) Alam, di mana fasilitas belajar-mengajar diselenggarakan; (2) Manusia; (3) Masyarakat (akademik); (4) Bangunan/ Struktur Ruang, yang di dalamnya manusia hidup dan berkehidupan sesuai fungsi atau perannya; (5) Jejaring, baik yang ekonomi, social dan budaya, bahkan religiusitas untuk Aceh khususnya, maupun sarana dan prasarana bagi kedinamikaan sebuah pemukiman (antara lain, air, listrik, jalan dan telekomunikasi.
Ketika saya sedang membatin, bahwa saya tidak mengerti, Gub Nova melanjutkan, jadi pengembangan universitas di dalam Kopelma Darussalam, tidak hanya membangun gedung dan lab, apalagi dengan menggusur pemukiman.
Inilah keunikan Kopelma Darussalam. Saya membatin, agaknya, Kopelma Darussalam merupakan sebuah metrocampus. Ibarat mesin mobil, kita bisa membayangkan, bukan hanya terdiri dari sebuah blok mesin, melainkan ada berbagai elemen yang membuat blok mesin itu hidup dan memberikan kenikmatan pada para pengendara dan penumpangnya.
Saya tak bisa membayangkan, apakah para pendahulu sudah membaca teori ekistik sebelum membangun Universitas Syiah Kuala dan Universitas Islam Neger Ar-Raniry? Hal yang lebih pasti, kita bisa membayangkan para pendahulu memulai dengan membentuk Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA) 1958. Lalu, di bangun kota pelajar (1959). Kemudian, berdiri Universitas Syiah Kuala (1961-1962); dan UIN Ar-Raniry (1960-1963).
Agaknya, para pendiri kampus itu, berperspektif ekosistem dalam membangun Kopelma Darussalam, sehingga ada hubungan yang simbiosis mutualis antara pemukiman dan gedung (perguruan tinggi).
Karena itu, tidak boleh pemukiman memangsa gedung (sarana belajar-mengajar), juga sebaliknya, sebagaimana sekarang mulai terjadi. Apalagi memangsa sebuah situs sejarah perdamaian Aceh.
Kopelma Darussalam, bukanlah sebuah blok mesin semata, tapi ia sebuah kenderaan dengan kelengkapan sebuah blok mesin yang menghidupkan!*
• Penulis adalah Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.