kip lhok
Beranda / Kolom / Terima Kasih Presiden

Terima Kasih Presiden

Rabu, 28 Juni 2023 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Presiden Joko Widodo meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, pada Selasa, 27 Juni 2023. (Foto: BPMI Setpres)


DIALEKSIS.COM | Setau saya, satu-satunya Presiden Republik Indonesia yang paling sering mengunjungi Aceh adalah Joko Widodo. Disamping Pak SBY yang memiliki kontribusi besar untuk perdamaian Aceh. Walaupun kalah, Jokowi tetap menjadikan Aceh sebagai perhatian dan prioritas. Padahal, pendukung Jokowi di Aceh saat Pilpres 2019 banyak yang tiarap karena stigma negatif, bahkan dikafir-kafirkan dan hasilnya Jokowi kalah telak.  

Jokowi, salah satu Presiden yang fokus menyelesaikan agenda pelanggaran HAM masa lalu, sebagaimana janjinya. Walaupun semuanya tidak terpenuhi tapi ia sudah berani memulainya dan memberikan harapan besar bagi sebagian korban, khususnya di Aceh.  

Sebagai korban, saya berterima kasih dan apresiatif kepada presiden yang memilih Aceh (Rumoh Geudong) sebagai tempat Kick Off terkait program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu di Indonesia.

Walaupun keluarga saya tidak pernah disiksa dalam Rumoh Geudong, bahkan mungkin banyak korban dalam tragedi di Aceh yang tidak masuk dan tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM berat. Tapi, setidaknya negara sudah mengakui beberapa tragedi kemanusiaan di Aceh. Dan, itu perlu dihargai. 

Secara pribadi, saya tidak sanggup melihat tempat-tempat penyiksaan apalagi tempat transit orangtua saya sebagai korban seperti Kamp Jln. Gandhi Medan, Pos Sattis Rancong, Pos Sattis C Aceh Utara dan tempat-tempat jagal lainnya. Mengingat saja memberi trauma mendalam, jü darah, dan badan bergetar apalagi menyaksikan tempat-tempat tersebut masih ada di depan mata. 

Sebagai korban, saya paham psikologis ini hingga kenapa para korban berharap tempat-tempat itu untuk dirubuhkan. Karena, memulihkan rasa trauma itu tidak mudah, menerima kondisi pasca kejadian apalagi sesudah Aceh Damai itu tidak gampang. Saya, butuh waktu 5 tahun untuk memulihkan rasa trauma dengan cara sendiri, tanpa konseling trauma healing, belajar menerima, apalagi berharap hadirnya lembaga negara dimana saat itu belum ada KKR di Aceh. Bahkan kala itu saya menolak segala bentuk uang diyat dan uang lainnya yang saat itu diberikan sesudah Aceh Damai.

Tapi, mungkin sebagai pegiat sejarah, aktivis HAM dan Masyarakat Sipil berharap setidaknya tidak dihancurkan atau dibangun semacam museum dan monumen untuk mengenang dan mengingat bahwa Aceh pernah menjadi lahan pembantaian saat perang terjadi, itu penting sebagai warisan memorial untuk generasi berikutnya. Dalam hal ini terserah, kita mau melihat dari perspektif mana. 

Yang jelas, konflik di Aceh itu sangat menyeramkan, sadis, brutal dan menyakitkan. Mungkin tidak ada kata-kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana kejadian tragis itu terjadi. Bagi anak-anak i-gen atau generasi Z tidak akan paham bagaimana pedihnya konflik Aceh kala itu, apalagi mereka yang tidak pernah menjadi korban dan saat ini mungkin sedang berkoar-koar manja dan meminta agar Aceh kembali perang. 

Kita perlu jujur, bahwa korban konflik di Aceh tidak semata-mata karena dibunuh Militer, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh GAM sendiri dengan dalih Cuak, dekat dengan Militer, sentimen pribadi, dan sekian banyak dalih lainnya juga merupakan korban yang hari ini sama² merasakan imbasnya. Dan, kehadiran Jokowi telah memberi harapan untuk kita sebagai bentuk permintaan maaf negara terhadap Aceh. Untuk itu,Terima kasih Presiden!  

Semoga Tuhan membalas niat baikmu dan membalas kezaliman masa lalu atas setiap nyawa yang hilang di akhirat kelak. Amin. 


Penulis 

Haekal Afifa Ketua Majelis Akreditasi Dayah Aceh (MADA)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda