Tjut Husin Fatly
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi. (Foto: http://duniaislam-channel.blogspot.com/)
Betapa bodohnya saya manakala tak bisa membedakan antara dua antropolog besar yang bersentuhan dengan Aceh, yakni: Stuart A. Schlegel dan James T Siegel.
Pada 1993, saya mendapat kesempatan melakukan perjalanan ke Amerika. Lalu, saya teringat pada Schlegel karena beliau adalah ahli metode grounded research yang bekerja di PLPIIS. Kebetulan kantornya dekat rumah, tapi saat itu saya baru masuk SMP.
Saat menjadi mahasiswa geografi di UGM (1979), saya sudah membaca karya-karya Clifford Geertz, sehingga muncul rasa ingin tahu tentang grounded research. Pada saat itu, karena rasa ingin mengetahui tentang Aceh, saya sudah mulai membaca karya James T Siegel, The Rope of God, yang juga pakai metode grounded research, khususnya thick description (deskripsi tebal).
Akhirnya, dalam perjalanan itu di AS, saya berkesempatan bertemu dengan Prof. Schlegel di Universitas California di Santa Cruz. Awal pertemuan beliau bercerita tentang kesannya selama bertugas di Aceh. Lalu, karena saya bertanya tentang grounded research, maka beliau menjelaskan lebih lanjut apa itu grounded research, sanadnya ke Geertz, dan mengapa dipakai pada PLPIIS.
Sejak itu, saya mengenal beliau lebih baik.
Lalu, pada tahun 2001, ketika saya berada di New York, Sidney Jones menanyakan ke saya mau berlibur ke mana. Saya katakan bahwa saya ingin menulis buku tentang tragedi Idi Cut, dan saya ingin bertemu Siegel. Kebetulan Sidney alumni Universitas Cornell di Ithaca.
Selama di Cornell, Prof Siegel memberikan fasilitas ruang kerjanya dan perpustakaan universitas, yang kebetulan stafnya berasal dari Kalimantan, Ben Abel untuk saya gunakan selama 3 bulan, dan dalam musim salju yang tebal.
Selama perjalanan kampanye tentang Aceh ke negeri mana pun, saya selalu agendakan untuk mengunjungi universitas. Ini belajar dari kampanye Timor Timur, yang mana ketika masalah Timor sudah menjadi wacana akademik, maka kampanye dan solidaritas (simpati) akan terus berkelanjutan.
Pertemuan pertama dengan Prof Siegel, saya langsung bertanya: mengapa bapak tidak menulis lagi tentang Aceh, tapi sudah menulis tentang Jawa? Katanya dengan ringan: Kalau tentang Aceh, sekali kita menulis sudah selesai. Tetapi, kalau kita menulis tentang Jawa setelah selesai satu hal, terbit lagi dorongan untuk menulis lagi seakan tak ada habisnya.
Keesokannya, saya diundang makan malam ke rumahnya. Kembali saya ajukan lagi pertanyaan kemarin. Apa katanya? Saya kecewa dengan Aceh. Dua sahabat saya diperlakukan tidak pantas, dan meninggal. Siapa saja itu? Daud Beureueh dan Thaib Adamy. Tokoh Ulama dan tokoh PKI.
Nama Thaib Adamy mulai berada dalam memori saya. Sebuah nama yang terdengar sayup-sayup, apalagi saat peristiwa itu terjadi (1965), saya baru mau masuk SD.
Ketika saya pertama kali ke Belanda, saya mulai mendengar nama orang Aceh, Tjut Husin Fatly. Beliau tokoh PKI. Saya mendengar bahwa beliau tidak suka terhadap aktivis Aceh, karena mereka mendukung kemerdekaan Aceh.
Dari situlah saya terpikir bahwa PKI sebenarnya bentuk nasionalisme ekstrim kiri. Sama halnya dengan kaum nasionalis ekstrim kanan, karena sama-sama menggunakan gerakan bersenjata. Bukankah ketika rezim dipegang oleh nasionalisme ekstrim kanan, Aceh diberikan status Darurat Militer? Kekuasaan bisa diraih dan digelindingkan hanya dengan kekuatan militer, sehingga berpotensi pelanggaran HAM yang sistematis dan berkelanjutan sepanjang rezim itu berkuasa.
Dalam kunjungan berikutnya, kebetulan ada acara pertemuan orang Indonesia, Tjut Husin datang. Saya memberanikan diri berbincang dengannya. Saya perkenalkan diri dari Aceh. Beliau juga mengatakan dari Aceh bagian selatan. Tapi, saya baca catatan kaki Jess Melvin, beliau dari Tangerang dan menjadi kepala PKI Provinsi Aceh.
Lalu, saya bertanya:
+ Apakah bapak mengenal Thaib Adamy?
- Wah, dia itu saya yang lantik!
+ (Saya membatin: berarti beliau tokoh besarnya di Aceh)
kemudian beliau bercerita tentang prosesi eksekusi delapan gerwani di halaman Masjid Raya Baiturrahman. (Saya membatin: mungkin salah seorang gerwani itu adalah istri beliau sehingga betapa terlukanya beliau).
Di dalam artikel Aboeprijadi Santoso “Mass Killings That Were Planned: A ‘Game-changer’”, digambarkan bahwa apa yang dialami istri beliau adalah “rumah digeledah dan dibakar. Dia kemudian terbunuh dan meninggalkan putrinya yang belum sekolah di sebuah kamp. Itu adalah salah satu dari setidaknya 1.941 kasus pembantaian, yang studi Jess Melvin temukan di Aceh sebagai bagian dari penghancuran yang direncanakan (Operasi Penumpasan) komunis.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sebuah garis keturunan menjalani hidup di Aceh, yang mana konflik bergerak secara spiral. Saya membayangkan keluarga sendiri.
Kakek saya ditangkap dan dieksekusi oleh Belanda di pelabuhan Calang sekitar 1942. Jepang beroperasi. Usia bapak masih belasan. Merantau ke Banda Aceh. Usia remaja meletus revolusi social Cumbok (1948), justru ketika ia mulai mendapat ayah angkat dari keluarga Uleebalang. Lalu berangkat ke Yogya untuk belajar di UGM.
Di Aceh meletus DI/TII (1953). Pulang dari Yogya jemput Daud Beureueh yang turun gunung (1963). Tidak lama kemudian, setelah rivalitas ideology yang merasuk ke Darussalam, khususnya Unsyiah, 1965 meletus PKI. Saya baru mau masuk SD. Ketika berada di SMA, Aceh Merdeka diproklamirkan (1976). Pulang dari S1 di Yogya, Aceh dalam suasana Daerah Operasi Militer (DOM). Selesai S2 di yogya, Reformasi 1998 dan cabut DOM. Lalu dari AM muncul GAM yang membesar, operasi militer pun membesar.
Tahun 2005 terjadi bencana Tsunami dan perdamaian. Rupanya, spiral perjuangan dan rivalitas kaum nasionalis ekstrim kiri maupun kanan melahirkan spiral operasi bersenjata. Kejahatan terhadap kemanusiaan digerakkan bak roda gila. Tapi spiral penegakan hukum, sekali pun sudah masuk periode damai, tetap saja macet.
Luka terakumulasi antar generasi!*
Penulis:
Otto Syamsuddin Ishak
Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh