11 Warga Aceh Dapat Ganti Rugi Dari Exxon Mobil atas Penyiksaaan Aparat Keamanan Indonesia
Font: Ukuran: - +
Foto Ilustrasi. Ladang Gas Arun yang dioperasikan ExxonMobil sampai sebagian besar aset dijual ke Pertamina pada 2015.(Foto: BBC Indonesia)
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sebanyak 11 warga desa Aceh yang mengaku diri mereka atau keluarga mereka mengalami kekerasan mengerikan lebih dari 20 tahun lalu telah mendapatkan ganti rugi finansial dari ExxonMobil, menjelang pengadilan HAM yang sedianya dimulai akhir bulan ini.
Dalam kasus yang diajukan gugatannya pada 2001 di Pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat, 11 warga desa itu menuduh ExxonMobil menyewa tentara Indonesia untuk menjaga keamanan daerah operasional mereka.
Namun penduduk menuding, tentara itu justru menyalahgunakan wewenang mereka dan melakukan pelanggaran mengerikan terhadap pada penduduk desa dan keluarga mereka, termasuk pembunuhan, penyiksaan, kekerasan seksual, dan penculikan.
Selama periode ini, ExxonMobil melaporkan keuntungan perusahaan yang jumlahnya salah satu paling besar di dunia.
"Klien kami, 11 penduduk desa, dengan berani menghadapi salah satu perusahaan terbesar dan paling menguntungkan di dunia dan tetap berjuang selama lebih dari 20 tahun. Kami sangat senang, pada saat menjelang pengadilan, kami bisa mendapatkan keadilan bagi mereka dan keluarga," kata Agnieszka Fryszman,
kuasa hukum penggugat dan ketua penasehat unit Hak Asasi Manusia, firma hukum Cohen Milstein.
"Kami mewakili perempuan dan anak-anak yang melihat ayah mereka ditembak mati, seorang perempuan yang dipaksa melompat-lompat berulang kali saat hamil delapan bulan dan kemudian mengalami pelecehan seksual, dan laki-laki yang ditahan dan disetrum, dibakar, dan punggung mereka dicoret dengan pisau," tambah Agnieszka.
Ke-11 warga desa - yang identitasnya dirahasiakan dan disebut sebagai Jane dan John Doe - mengaku mengalami berbagai penyiksaan berat termasuk pemukulan, pemerkosaan, penembakan dan menyebabkan kematian (anggota keluarga mereka) oleh tentara Indonesia yang disewa perusahaan minyak AS tersebut, pada periode 1999-2003 silam.
Mereka sejatinya sudah siap untuk diberangkatkan ke Washington DC dan memberikan kesaksian di pengadilan Amerika Serikat pada awal Juni ini dalam kasus yang disebut John Doe Vs ExxonMobil.
Bahkan, video para saksi kekerasan yang telah direkam, juga sudah disiapkan untuk diperdengarkan di pengadilan dengan sistem juri ini.
Identitas mereka tetap dirahasiakan dan jumlah ganti rugi juga tidak dirinci demi keamanan mereka.
Salah seorang penduduk desa mengatakan, "Meskipun tidak ada yang bisa mengembalikan suami saya, kemenangan ini memberikan keadilan yang telah kami perjuangkan selama dua dekade dan akan mengubah hidup saya dan keluarga saya."
"Saya senang, kami tidak menyerah dalam berjuang dan suara kami didengar," tambahnya.
Terry Colingsworth, pendiri dan direktur International Rights Advocates yang mengajukan gugatan kasus ini pada 2001, menyebut dedikasi dan komitmen penduduk desa untuk mencari pertanggung jawaban dalam 20 tahun terakhir "sangat menginspirasi."
ExxonMobil sebelumnya selalu menyanggah dugaan pelanggaran HAM ini. Dalam tanggapan kepada BBC, juru bicara perusahaan itu, Todd Spitler mengatakan ExxonMobil "mengutuk pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk apapun, termasuk tindakan yang dituduhkan dalam kasus ini terhadap militer Indonesia."
Spitler juga menyatakan "tidak ada tuduhan bahwa karyawan kami secara langsung menyakiti salah satu dari para penggugat dan bahwa penyelesaian ini merupakan penutup bagi semua pihak."
"Kami menyampaikan simpati yang mendalam kepada keluarga dan orang-orang yang terlibat," tambahnya.
Michel Paradis, pakar hukum HAM dan pengajar di Columbia Law School, New York, menyebut penyelesaian ini sebagai "momen luar biasa."
"Exxon dan pengacaranya melakukan segala yang mereka bisa, namun mereka (penggugat) berhasil mengatasi semua itu. Ini adalah bukti bukan hanya atas ketekunan mereka, tetapi juga atas keadilan untuk tujuan mereka," kata Paradis yang juga adalah penasehat untuk Kementerian Pertahanan, AS.
"Mereka (penggugat) dan para pengacara mereka seharusnya merasa sangat puas bahwa mereka tidak hanya berhasil memperoleh pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan kepada mereka, tetapi juga telah membantu mendorong perubahan besar dalam cara perusahaan mengatur diri mereka sendiri yang akan mencegah hal-hal seperti ini terjadi lagi," tambah Paradis.
Para penggugat yang terdiri dari 11 individu merupakan penduduk desa yang tinggal di seputar Ladang Gas Arun yang dioperasikan oleh ExxonMobil.
Para pegiat HAM menyebut mereka terjebak dalam kekerasan konflik Aceh yang memuncak pada periode itu.
Salah seorang penggugat adalah pedagang sayur keliling yang menjajakan jualannya dengan mengendarai sepeda motor.
Ada satu peristiwa yang mengerikan bagi keluarga ini. Pada satu malam di bulan Januari 2001, seorang korban yang dijuluki John Doe I meraung kesakitan begitu sampai di rumah.
Tangannya dipotong, satu matanya dicungkil, menurut dokumen pengadilan.
Setelah lebih tenang, ia baru bisa bercerita keesokan harinya kepada istrinya, Jane Doe V, bahwa ia disiksa
"Tentara Exxon". Beberapa hari ia menghilang, disiksa dan kembali ke rumah dengan hanya mengenakan pakaian dalam dengan kondisi luka parah.
John Doe I, yang meninggal pada 2003 dalam serangan di desanya, juga mengatakan tentara menembaknya di pergelangan tangan, meledakkan granat di dekatnya, serta membiarkannya tergeletak.
Agnieszka Fryszman serta Terry Collingsworth menyebut proses hukum yang sangat lama ini, dimungkinkan berjalan karena "keberanian luar biasa" penduduk.
Risiko keselamatan mereka- dengan identitas disembunyikan dalam lebih 20 tahun - yang paling berat adalah terbunuh.
"Mereka adalah sekelompok sangat kecil penduduk desa yang mempertaruhkan diri mereka sendiri dengan risiko fisik yang sangat tinggi, dan mereka sangat takut akan ada pembalasan. Mereka tetap bersedia untuk maju dan melawan perusahaan terbesar di dunia. Ini sungguh luar biasa," kata Agnieszka kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin.
Sementara Terry - yang pertama berjumpa dengan para penduduk desa itu di Aceh pada 2001 - mengatakan bisa menyaksikan sendiri ketakutan mereka "dari kata-kata mereka sendiri dan juga bahasa tubuh yang sangat jelas.
"Mereka ketakutan. Jadi betapa beraninya mereka karena bersedia mengungkap kejahatan hak asasi manusia ini. Pada saat yang sama mereka sangat takut akan menghadapi nasib yang sama dengan orang-orang yang mereka sayang, yang disiksa dan dibunuh. Jadi butuh keberanian luar biasa untuk mengatakan saya akan mengatasi kondisi ini," tambahnya.
Pada periode akhir 1990an dan awal 2000an, konflik Aceh tengah memanas. Kekerasan dilaporkan banyak terjadi dengan tentara dikerahkan ke provinsi ini untuk menghadapi Gerakan Aceh Merdeka.
Namun dalam kasus ini, pelaku kekerasan bukan tentara biasa. Dalam dokumen pengadilan, para penggugat menyebutnya sebagai
"Tentara Exxon" - tentara Indonesia yang disewa untuk menjaga keamanan di seputar ladang gas alam yang pernah disebut petinggi raksasa minyak itu sebagai "permata di mahkota perusahaan."
Dalam memorandum opini yang telah disunting dan dikeluarkan oleh Pengadilan Distrik Columbia pada Agustus 2022, ExxonMobil menyatakan tidak ada bukti cukup untuk mengaitkan tentara yang mereka sewa dengan apa yang terjadi pada penggugat.
Namun hakim yang menangani kasus ini menyatakan sebagian besar argumen raksasa gas dan minyak itu "sama sekali tidak berdasar" dan bahwa keterangan para penggugat dapat didengar juri di pengadilan.
Trauma dan bekas luka yang masih membekas
Luka bekas pukulan itu masih terlihat jelas di kepala dan kakinya. Pukulan popor senjata "Tentara Exxon" di kepala salah satu penggugat berjuluk John Doe sesekali masih mengeluarkan nanah sampai saat ini.
Ia masih ingat lokasi tempat dia dipukul karena kepalanya tidak ditutup saat penyiksaan dia alami.
"Dipukul ramai-ramai…dengan senjata dan kayu…di salah satu klaster," kata John Doe.
Suaranya masih terdengar bergetar saat ditemui tahun lalu. Secara fisik ia terlihat kuat, tapi traumanya masih kentara.
Banyak gigi bawahnya rontok akibat pukulan, sementara rahangnya masih terlihat terlepas, ketika ditemui tahun lalu oleh wartawan di Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
John Doe lain yang ditemui di desa yang berbeda mengatakan ia sama sekali tak melihat siapa yang memukulnya karena kepala ditutup.
Namun ia masih ingat persis hari nahas yang menimpanya: Jumat, bulan Juli tahun 1999, sekitar pukul 19:00 WIB.
Ia tengah mengendarai sepeda motor untuk mengambil gaji.
"Saya dicegat petugas, uang yang saya pegang dirampas…selama lebih 20 hari saya disiksa, tidak tahu di mana karena kepala ditutup," tuturnya. Masih ada bekas-bekas luka di kakinya.
Di balik pengalaman traumatik ini, dua John Doe ini bertekad ingin melihat keadilan ditegakkan dengan pihak ExxonMobil "mengakui melakukan pelanggaran HAM".
Dalam dokumen memorandum opini sebanyak 85 halaman, keterangan ini serupa dengan yang diceritakan oleh
John Doe IV.
Ia dicegat tentara sekembalinya dari mengambil gaji dalam perjalanan dari Paya Bakong ke Matang Kuli.
Jalan antara dua lokasi ini melalui Klaster 4, salah satu lokasi yang dijaga tentara. Ia dicegat sekitar 150 meter dari klaster oleh sekitar selusin tentara.
Ia mengatakan tentara menutup kepalanya dengan karung saat dibawa ke satu tempat. Ia tak bisa melihat wajah para tentara itu.
Dalam dokumen itu disebutkan lokasi-lokasi tempat penggugat mengalami penyiksaan, antara lain Poin A (kantor manajemen), empat klaster yang berlokasi di dekat sumur pengeboran, fasilitas-fasilitas penunjang, termasuk Kamp A-13, yang dikenal sebagai "tempat penyiksaan."
Sejak 2015 lalu, ExxonMobil, melalui juru bicara Todd Spitler menyanggah tuduhan para penggugat ini.
"Kami telah memperjuangkan klaim tak berdasar selama bertahun-tahun ... Klaim penggugat tidak berdasar."
"Dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia, ExxonMobil telah bekerja dari generasi ke generasi untuk meningkatkan kualitas hidup di Aceh melalui penggunaan tenaga kerja lokal, penyediaan layanan kesehatan, dan investasi masyarakat yang ekstensif. Perusahaan mengutuk keras pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk apapun," kata Spitler dalam pernyataan, jawaban yang tetap ia acu saat ditanya wartawan.
Diancam dieksekusi di dekat lubang dengan banyak tengkorak, selama proses hukum hampir 22 tahun, ExxonMobil berupaya menyanggah dan membatalkan gugatan penduduk ini selama sembilan kali.
Dalam gugatan yang diajukan pada Juni 2001 di Pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat itu disebutkan ExxonMobil menyewa tentara Indonesia untuk menjaga keamanan dengan bayaran disebutkan US$500.000 (atau saat ini setara dengan nilai Rp7,3 miliar) per bulan.
Dokumen pengadilan menyebutkan pada Februari 2001, jumlah tentara yang dikerahkan ke Aceh sebanyak 5.500 personel, dan 1.000 di antara mereka dipekerjakan menjaga ExxonMobil atau sekitar 20%.
Bentuk penyiksaan yang diceritakan seorang penggugat lain adalah alat kelaminnya disetrum dan diancam akan dieksekusi di lubang berisi setumpuk tulang tengkorak manusia.
Seorang penggugat lain menggambarkan diserang secara seksual ketika tengah hamil besar.
Namun apa yang dialami oleh John Doe dan Jane Doe ini memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat secara resmi diperdengarkan di pengadilan Washington DC.
Kuasa hukum penggugat, Agnieszka, mengatakan penduduk yang menjadi korban ini "hanya menjalani kehidupan sehari-hari…kehidupan damai, seperti menggarap sawah, melakukan kegiatan di desa mereka…Tingkat kekerasan ini gila dan tidak dapat diprediksi. Ada yang tengah membeli nasi di warung (saat diserang)."
Perusahaan raksasa ExxonMobil menyewa tiga firma hukum besar dan berusaha menggagalkan gugatan ini dengan berbagai cara.
"Seharusnya tidak butuh waktu lama agar cerita mereka didengar..bukan 20 tahun kemudian setelah melewati berbagai ganjalan legal," kata Agnieszka.
"Kekuatan yang kami bawa adalah dengan kesaksian penggugat yang solid. Mereka memiliki saksi mata dan mereka ingin mencari keadilan," tambahnya.
Pengacara HAM dari Firma Hukum Cohen Milstein ini mengatakan harapannya agar kasus ini dapat membuat perusahaan besar "lebih berhati-hati" dalam operasional mereka terutama menyangkut keamanan penduduk sipil.
Mengapa hanya 11 penggugat?
Kasus ini pertama kali diusung oleh Terry Collingsworth pada Juni 2001 ke Pengadilan Distrik Washington DC, sekembalinya dari Aceh.
"Masih ada lebih banyak lagi korban. Sebagian dari mereka terlalu takut untuk direkam pembicaraan mereka," cerita Terry kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin.
Faktor utama untuk menyeleksi penggugat, kata Terry, adalah "mereka yang mengalami luka-luka atau memiliki anggota keluarga yang terbunuh dalam periode waktu itu dan dapat menggambarkan siapa yang bertanggung jawab atas luka-luka atau kematian."
"Mereka harus dapat membedakan antara militer reguler di Aceh yang ditempatkan untuk mengatasi konflik dengan GAM dan pasukan yang khusus dipekerjakan untuk ExxonMobil."
"Mereka juga perlu menjelaskan tempat-tempat mereka mengalami luka-luka atau kematian (anggota keluarga) dan bahwa tempat-tempat itu bisa dikaitkan dengan lokasi operasional ExxonMobil."
"Kesebelas orang itu memenuhi kriteria ini. Tentu, kami bisa mencari penggugat lain, namun tentu kami ingin jumlah yang lebih bisa ditangani dan mereka 100% yakin tentang peristiwa kekerasan terkait operasional ExxonMobil."
Mobil Oil Indonesia, yang dibeli oleh Exxon pada 1999 dan menjadi ExxonMobil Corporation, pertama kali beroperasi di Aceh pada awal tahun 1970 setelah menemukan cadangan gas alam di dekat kota Lhoksukon.
Perusahaan itu disebutkan meraih pendapatan tahunan lebih dari US$1 miliar pada akhir 1990an.
Sebelum Mobil merger dengan Exxon, fasilitas di Aceh Utara ini memproduksi 25% pendapatan minyak dan gas perusahaan tersebut.
Salah satu eksekutif ExxonMobil menggambarkan Arun kepada Wall Street Journal sebagai "permata dalam mahkota perusahaan."
Namun pada awal tahun 2000, permata ini terancam. GAM dan kelompok pengacau lain mulai menculik dan menyerang karyawan ExxonMobil.
Menurut surat gugatan, ExxonMobil membayar tentara Indonesia US$500.000 sebulan untuk melindungi ladang gas itu. Tetapi kekerasan berlanjut dan ExxonMobil semakin khawatir.
Tentara yang disewa tidak hanya menjaga fasilitas, namun juga berpatroli di desa-desa sekitar dan mendirikan banyak pos-pos penjagaan.
Sebagian penduduk yang disiksa disebutkan dicurigai terlibat GAM atau sebagai anggota kelompok separatis tersebut.
Keterangan Jane dan John Doe berdasarkan memorandum opini yang telah disunting dan dikeluarkan pada Agustus 2022.
Jane Doe I
Ketika tengah hamil delapan bulan pada 2001, Jane Doe I mengaku diserang tentara. Menurutnya, tentara itu memaksanya untuk melompat berulang kali.
Perempuan tersebut mengidentifikasi penyerangnya sebagai tentara dengan baret bertuliskan 113. Tentara itu, kata dia, bekerja untuk ExxonMobil.
Tentara itu tiba dan berangkat dengan truk dengan logo untuk unit tentara dari batalion 113 dan stiker merah bertuliskan, "Allah Maha besar".
Kesaksian ini dikuatkan oleh keterangan saksi lain yang dapat mengidentifikasi truk yang sama dengan stiker yang sama karena setiap hari menunggu bus sekolah di luar fasilitas ExxonMobil.
Dokumen memorandum opini ini juga menyebutkan - mengutip dari laporan surat kabar lokal dari dokumen-dokumen Exxon sendiri - bahwa Batalion 113 ditempatkan di dan di dekat berbagai lokasi yang dioperasikan Exxon.
Atas bukti-bukti itu, pengadilan memutuskan bahwa juri " dapat menyimpulkan, terdapat hubungan kerja antara tentara dengan terdakwa (ExxonMobil)… terdapat bukti cukup dari hubungan fungsional antara tindakan tentara dengan hubungan kerjanya dengan terdakwa".
Jane Doe II
Dia mengaku suaminya (John Doe VIII) ditembak mati personel keamanan ExxonMobil hingga tewas saat bekerja di sawah pada 4 Desember 2000.
Jane Doe II menyaksikan oknum tentara berada di desanya, mendengar tembakan, dan melihat seorang lelaki ditembak tentara di sawah.
Jane Doe mengatakan dalam keterangannya bahwa "tentara Exxon" membunuh suaminya. Ia menghubungkan tentara dengan ExxonMobil melalui truk dari Klaster 4 yang berjarak sekitar tiga sampai empat kilometer dari rumahnya.
Kepala desa di tempat tinggal penggugat bersaksi, pada pagi hari, ia menyaksikan sejumlah truk militer dan prajurit tiba di desa dari Klaster 4 di dalam wilayah ExxonMobil.
Pengadilan menulis, "terdakwa mengatakan ,'tidak ada bukti' yang menghubungkan penembakan dengan ExxonMobil. Mereka salah."
Pada Desember 2020, jumlah tentara yang ditempatkan di seputar Ladang Gas Arun, mendekati 1.000 personel, atau rata-rata 20% dari total jumlah tentara di wilayah itu.
Jane Doe III
Dia mengeklaim bahwa personel keamanan ExxonMobil membunuh dan menghilangkan jenazah suaminya, John Doe IX, pada 17 September 2000.
Dia mengatakan suaminya adalah pedagang ikan keliling yang sering berjualan di di pasar Desa Paya Brandang. Ini adalah lokasi kamp pekerja yang dikelola oleh Exxon dan dijaga tentara.
Dia menunjukkan bukti dari saksi mata yang bekerja di kamp itu bahwa suaminya dibunuh oknum tentara di sana.
Jane Doe IV
Dia memberikan kesaksian bahwa pada 4 Desember 2000, suaminya, John Doe X, dibunuh oleh oknum tentara, (hari yang sama dengan pembunuhan suami Jane Doe II) saat bekerja di sawah di kampung mereka yang berjarak satu kilometer dari Klaster 4.
Berdasarkan keterangan dua saksi mata, oknum tentara penembak suaminya adalah penjaga gerbang ExxonMobil yang sering menggertak anak-anak dalam perjalanan dari dan ke sekolah.
Seorang tetangga yang menyaksikan pembunuhan John Doe X, berjalan setiap hari melewati Klaster 4. Dia bersaksi bahwa ia mengenal enam tentara yang memang berjaga-jaga di dalam dan luar kluster.
Berdasarkan bukti itu, pengadilan memutuskan, juri dapat menemukan bahwa tentara yang membunuh suami Jane Doe IV adalah tentara yang sama yang disewa dan diawasi oleh terdakwa, ExxonMobil.
Jane Doe V
Dia menyaksikan pada Januari 2001, suaminya, John Doe I (yang telah meninggal pada 2003), dibawa pulang ke rumahnya oleh tentara setelah beberapa hari menghilang.
Saat tiba di rumah, ia menyaksikan suaminya hanya mengenakan pakaian dalam, tangannya dipotong, dan kehilangan salah satu matanya.
Ia menambahkan, suaminya sangat kesakitan, syok, dan menangis sepanjang malam.
Kemudian ketika bisa berbicara, suaminya menceritakan bahwa ia diculik oleh tentara yang bekerja di Poin A - tempat pasukan pengaman ExxonMobil. Di sana tangannya dipotong dan matanya diambil.
Ia bercerita kepada istrinya bahwa ia dibawa oleh "Tentara Exxon" yang membawanya ke pos Exxon dan menyiksanya.
John Doe I adalah penjual sayur dengan menggunakan sepeda motor.
Rute sehari-harinya adalah dari Poin A dan Klaster 3, yang dioperasikan oleh terdakwa.
John Doe I mengenal tentara yang ditempatkan di sepanjang rute ia berjualan.
Berdasarkan bukti itu, pengadilan memutuskan, "juri dapat menyimpulkan bahwa tentara yang menculik dan menyiksa John Doe bekerja di Poin A dan menjaga keamanan bagi terdakwa."
Jane Doe VI
Pada Juli tahun 2000, Jane Doe VI mengaku putranya, John Doe III, ditembak dan dipukul oleh tentara yang menjaga Klaster 2.
Pada bulan Juli itu, banyak penduduk desa berjalan di sepanjang "Jalan Exxon" menuju Poin A untuk meminta perlindungan.
Dokumen internal dan email terdakwa menyebutkan bahwa ketika ribuan penduduk desa mencari perlindungan di Poin A, tentara melepaskan tembakan peringatan untuk membubarkan penduduk.
Jane Doe VI dan dua anak lain yang masih kecil tengah berjalan menuju Poin A dan melewati Klaster 2, fasilitas yang dioperasikan terdakwa.
Ketika Jane Doe IV dan keluarganya tiba di fasilitas itu, sejumlah tentara keluar dari Klaster 2 dan menembak John Doe III dan kemudian memukulnya.
Jane Doe VII
Jane Doe VII menuding bahwa pada 1999, "personel keamanan ExxonMobil" membakar rumah mereka.
Dia juga menuding bahwa pada 2003, suaminya, John Doe V, yang kini telah meninggal, dipukul selama tiga sampai empat hari.
Anak mereka juga menyaksikan ayahnya dibawa ke truk militer, tempat John Doe V ditutup matanya dan dipukuli. Sekembali ke rumah, John Doe V menangis karena luka-luka akibat disiksa oleh "Tentara Exxon" yang ia tahu namanya.
John Doe II
"Personal keamanan ExxonMobil…menahan dan menyiksa" selama beberapa bulan, kata John Doe II.
Pada 11 Agustus 1999, John Doe II diserang dan dibawa dari warung makanan di dekat Klaster 4. Penggugat menyatakan bahwa tentara yang memukul dan membawanya berasal dari Klaster 4 dan ditugaskan di fasilitas ExxonMobil.
Bukti utama klaim John Doe II adalah dari kesaksiannya dan juga kesaksian pemilik warung.
John Doe II bersaksi bahwa saat ia menunggu pesanan sarapannya, ia melihat sejumlah tentara keluar dari Klaster 4 dan mendekati warung.
Baik John Doe II dan pemilik warung mendengar bunyi tembakan ketika tentara meninggalkan klaster. Penduduk yang berada di sekitar lari karena bunyi tembakan, namun John Doe II tidak lari, sebelum akhirnya ia dikepung tentara.
Tentara ini memukulnya dengan tangan dan popor senjata.
Tentara yang sama menahan John Doe II selama 51 hari dan menghadapi penyiksaan mengerikan.
Pemilik warung mengeklaim bahwa tentara berasal dari "Mobil" karena mereka pelanggan warungnya. Dia juga tinggal tak jauh dari Klaster 4 dan mengenal wajah para tentara yang "berjaga di gerbang."
John Doe IV
Penggugat menuding bahwa pada Juli 2000, saat ia kembali ke rumah, ia dibawa personal keamanan ExxonMobil yang menahan dan menyiksanya selama berminggu-minggu.
Namun sebelum itu, tepatnya pada malam tanggal 29 Juli 1999, ia dicegat sekembalinya dari mengambil gaji dari Paya Bakong ke Matang Kuli. Jalan antara dua lokasi ini melalui Klaster 4, dan ia dicegat sekitar 150 meter dari Klaster 4 oleh selusin tentara.
Tentara itu menutup kepalanya dengan karung. Saat itu gelap dan ia tidak melihat wajah para tentara itu.
ExxonMobil menyatakan bahwa John Doe IV tidak bisa mengidentifikasi tentara yang mencegatnya. Namun penggugat menekankan bahwa cukup bukti bagi juri di pengadilan untuk bisa menyimpulkan bahwa tentara yang menahan John Doe IV ditugaskan di fasilitas terdakwa. Pengadilan sepakat.
John Doe IV telah menerangkan bahwa ia mengetahui daerah di seputar itu termasuk Klaster 4 dan bahwa ia "sering melihat tentara keluar dari Klaster 4 untuk melakukan patroli rutin di sepanjang jalan."
John Doe IV mengeklaim bahwa pada malam tanggal 29 Juli, 1999, "tentara yang mencegatnya adalah bagian dari mereka yang melakukan patroli rutin karena ia dicegat pada waktu yang bersamaan mereka berpatroli."
"Apa yang saya tahu adalah tentara yang masuk dan keluar area Exxon, tinggal di sana, kendaraan mereka di sana di dalam pagar Exxon, jadi berarti mereka adalah tentara yang menjaga Exxon."
Tentara yang mencegatnya menuduhnya sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka, GAM, memukulnya dan mengukir tulisan 'GAM' di punggungnya. Ia dibawa ke truk, dan mendengar tentara membawanya ke A-13.
Para penduduk desa mengetahui tempat ini sebagai "tempat penyiksaan".
John Doe IV tak mengetahui secara persis ke mana ia dibawa, namun ia berasumsi dibawa ke A-13 karena selama beberapa minggu berikutnya, ia disiksa, dipukul, disayat dengan pisau, tetap diikat dan dipaksa buang air kecil dan buang air besar di tempat dia diikat.
Memoranda opini menyebutkan bahwa ada bukti cukup untuk Pengadilan menyimpulkan bahwa tentara yang ditempatkan di A-13 adalah mereka yang menjaga keamanan terdakwa.
John Doe VII
Dia mengaku, pada Januari 2001, didatangi oleh personel keamanan ExxonMobil yang kemudian membawanya ke dalam gudang di fasilitas perusahaan itu.
Lalu, katanya, pasukan itu memukulinya dengan keras dengan menggunakan tangan, tendangan kaki, bot dan popor senjata sambil memainkan musik secara keras.
John Doe VII dan seorang penduduk desa lain ditahan semalam dan dibebaskan keesokan harinya. Ibu penggugat mengumpulkan sejumlah penduduk dan melakukan protes di Gerbang A-1 agar anaknya dikembalikan.
Penggugat mengajukan bukti dua saksi mata, termasuk satu orang yang ditahan bersamanya semalaman oleh pasukan keamanan ExxonMobil.
John Doe VII dan seorang penduduk yang ditahan bahkan bisa mengidentifikasi tentara dengan menyebut nama. Tentara yang sama sering melakukan patroli di fasilitas Exxon.
Salah seorang tentara disebut bernama Razali yang sering berpatroli di desa-desa sekitar. John Doe VII bahkan menyebut Unit 111 dan 113 serta komandan tentara "Pak Anggis".
Dokumen internal terdakwa juga menyebut nama "Anngit (ejaan berbeda dengan Anggis) Exxon dan Komandan Batalion Infanteri 113. Dokumen internal itu juga menyebutkan pengerahan Batalion 113 dan memasok unit itu dengan kendaraan dan bahan bakar.
Pengadilan mencatat bahwa para saksi bahkan mengidentifikasi oknum tentara itu dengan nama. Pengadilan juga menyatakan, pembelaan ExxonMobil yang menyebut bahwa tidak ada "bukti pertama yang menghubungkan luka-lukanya dengan para terdakwa" sebagai hal yang "tidak pantas."
Puluhan ribu korban sipil dalam konflik Aceh
Ladang gas alam ini dikelola oleh ExxonMobil hingga Oktober 2015. Pertamina secara resmi mengakusisi tiga aset ExxonMobil di Aceh yaitu Blok B, Blok North Sumatera Offshore (NSO), dan PT Arun NGL di Aceh.
Korban warga sipil yang menggugat ExxonMobil ini hanyalah sebagian kecil dari total jumlah keseluruhan dalam konflik Aceh selama lebih dua dekade.
Menurut Amnesty Internasional, antara 10.000 sampai 30.000 orang, termasuk banyak warga sipil, tewas dalam konflik antara pasukan pemerintah Indonesia dan GAM sejak 1976 sampai 2005.
Amnesty menyebut "pihak berwenang Indonesia hampir sepenuhnya gagal dalam tugasnya untuk memberikan kebenaran, keadilan, dan perbaikan kepada puluhan ribu korban dan anggota keluarga mereka."
Presiden Joko Widodo secara resmi mengakui tiga peristiwa di Aceh, Jambo Keupok, Rumoh Geudong, Pidie, dan Simpang KKA, Aceh Utara, termasuk di antara 11 kasus pelanggaran HAM berat.
Presiden Jokowi lantas membentuk tim penyelesaian non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di Masa Lalu (PPHAM) melalui Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2022.
Sumber: BBC Indonesia