Anggota Panja Sebut Pasal Penghinaan Presiden Sulit Dihapus
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Anggota panitia kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Arsul Sani menekankan bahwa RKUHP masih menyisakan beberapa isu krusial yang harus diselesaikan sebelum jabatan anggota DPR periode 2014-2024 rampung pada akhir September 2019. Salah satunya adalah pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Arsul mengatakan sulit bagi Panja menghapus pasal-pasal tertentu yang krusial, termasuk pasal penghinaan presiden.
"Yang memang sulit itu kalau tuntutannya adalah meniadakan pasal tertentu dari RKUHP, contoh pasal penghinaan presiden," kata kata Arsul saat ditemui di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Selasa (27/8).
Panja disebut Arsul tak akan menghapus pasal penghinaan presiden. Namun akan memperbaiki substansi dan rumusan redaksional pasal tersebut.
"Pada prinsipnya tidak ada yang menolak di internal DPR dan pemerintah. Jadi yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki substansi dan rumusan redaksinya," kata dia.
"Kalau substansi kita kan sudah bilang itu jadi delik aduan supaya tidak menabrak putusan MK," ujar Arsul lagi.
Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden diatur dalam pasal 223 dan 224 draf RKUHP. Dua pasal itu mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.
Selain itu, Arsul menyebut pasal krusial lain yang masih diperdebatkan adalah soal pasal kesusilaan. Ia menyatakan subtansi pasal tersebut masih dipersoalkan antara DPR dan elemen masyarakat sipil sampai saat ini.
"Tapi kalau pasal-pasal terkait kontrasepsi yang diributkan, tidak ada masalahnya untuk kita mengadopsi elemen-elemen masyarakat sipil," kata dia
Tak hanya itu, Arsul menyebut masih ada perdebatan antarfraksi di DPR terkait pembahasan living law atau hukum yang hidup di masyarakat dalam pembahasan RKUHP.
Arsul menyatakan sebagian mendorong agar dimuat dalam Peraturan Daerah (Perda), sebagian ingin dimasukkan dalam kompilasi hukum Islam.
"Menurut saya lebih baik dalam Perda. Karena secara hukum juga memungkinkan perda itu memuat tentang hukum adat. Karena hukum adat kan enggak ada hukuman penjara dan segala macam. Semuanya kan pidana adat gitu lho. Yang dalam konstruksi RKUHP yang namanya pidana adat itu masuk dalam pidana tambahan," kata dia.
Lebih lanjut, Arsul menyatakan pihaknya optimistis RKUHP akan disahkan dalam sidang paripurna terakhir DPR masa jabatan 2014-2019 pada 29 September 2019 mendatang.
Ia menyatakan Panja akan melakukan konsinyering dengan pihak terkait untuk merespons berbagai tuntutan elemen masyarakat sipil terkait RKUHP pada minggu depan.
"Konsinyering untuk membereskan beberapa hal, antara lain merespons concerndari elemen masyarakat sipil. Banyak yang sudah kita adopsi masukan-masukan itu," kata Arsul. (im/CNNIndonesia)