Brigjen TNI Chandra Ditunjuk Jadi Pj Bupati, Feri Amsari: Tidak Patuhi Keputusan MK
Font: Ukuran: - +
Pengamat Hukum Tata Negara dan Direktur PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari. [Foto: Net]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pengamat Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan, penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin sebagai Penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat bisa jadi tidak sah.
Hal itu dikarenakan Brigjen Chandra saat ini masih merupakan TNI aktif yang menjabat jabatan di luar institusi asal sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah.
Feri menilai penunjukkan tersebut tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, MK dinilai sudah sangat jelas menyatakan anggota TNI/Polri aktif tak bisa menjadi penjabat kepala daerah.
"Tidak mematuhi putusan peradilan berdasarkan pasal 17, 18 dan 19 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah tidak sah," kata Feri mengutip kumparan, Selasa (24/5/2022).
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menjelaskan bahwa tidak mengikuti putusan peradilan berdampak pada tidak sahnya kebijakan yang diambil. Pasal tersebut membahas larangan penyalahgunaan wewenang.
Berikut bunyi pasal 17:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. larangan melampaui Wewenang;
b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Bunyi pasal 18:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Bunyi pasal 19:
(1) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
(2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Putusan MK yang menyatakan bahwa TNI/Polri aktif tak bisa menjadi Pj termuat dalam putusan nomor 15/PUU-XX/2022. Hal itu termuat di bagian pertimbangan MK.
"Pertimbangan itu adalah bagian dari putusan dan amar putusan (MK), ya harus dipatuhi. Itu hanya cara Kemendagri menolak mematuhi putusan MK saja," kata Feri.
Ia menjelaskan mengapa TNI/Polri aktif tak bisa menjadi Pj kepala daerah. Sebab hal itu untuk menegakkan prinsip profesionalitas.
"Perlu kita ingat beberapa putusan MK ya. MK sudah memutuskan UU TNI konstitusional anggota TNI dan kepolisian yang ingin mengabdi di pemerintahan daerah harus mengundurkan diri begitu ya karena sebagai prinsip profesionalitas," kata Feri. [Kumparan]