Demokrat: Kasus 27 Juli Jadi Ritual PDIP Menyerang SBY
Font: Ukuran: - +
Dialeksis.com, Kamis (26/7) kemarin, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyambangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hasto mengadukan sejumlah kasus pelanggaran HAM. Salah satunya Kudatuli yang kerap disangkut-pautkan dengan SBY.
Jika serius mau mengusut Kudatuli, kata Rachland, kesempatan pertama dimiliki Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada 2001, saat menjabat Presiden kelima RI. "Sayang, Megawati memilih diam. Bahkan mengangkat Pak Sutiyoso, Pangdam Jaya saat kejadian, menjadi Gubernur DKI," ujar dia.
Pada 2004, lanjut Rachland, Megawati malah menghalangi penyidikan Tim Koneksitas Polri atas kasus Kudatuli dengan alasan pemilu sudah dekat. "Tak ada nama SBY dalam daftar orang yang disangka oleh Tim koneksitas Polri," kata dia.
Kesempatan kedua, ujar Rachland, datang saat negara didesak membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang sudah dimulai sejak era Presiden Ke-empat RI Habibie menjabat. Inisiatif masyarakat sipil mengikuti pengalaman Afrika Selatan ini menghadapi resistensi. "Fraksi PDIP bukan saja tidak pernah mendukung, tapi paling keras menolak," ujar dia.
Megawati, lanjut dia, juga tidak memerintahkan fraksi untuk bergerak. "Begitulah saat para korban 27 Juli masih keras berteriak, Megawati memilih berkompromi demi melindungi kekuasaan politiknya," ujar Rachland.
Sebelumnya, Hasto Kristiyanto meminta SBY mengungkap informasi seputar peristiwa berdarah atau kasus 27 Juli 1996. PDIP akan membuat laporan ke Komnas HAM terkait peristiwa perebutan kantor PDI di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat yang terkenal dengan peristiwa Kudatuli tersebut. (Tempo)