Diduga Obstruction of Justice, KMS Anti Korupsi Desak KPK Usut Yasonna Laoly
Font: Ukuran: - +
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Foto:
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah organisasi dan LSM nasional yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) anti korupsi mendesak Presiden Jokowi memecat Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM, dan meminta KPK mengusut dugaan tindakan obstruction of justice (tindakan menghalangi proses hukum) yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM itu ketika memberikan informasi yang menyesatkan.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Kamis, (23/1/2020), KMS anti korupsi menyebutkan sebagaimana diketahui bahwa Direktorat Jenderal Imigrasi baru saja mengumumkan terkait dengan polemik keberadaan Harun Masiku, tersangka kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR RI. Benar saja, sambung KMS, yang bersangkutan ada di Indonesia, dan telah kembali dari Singapura pada tanggal 7 Januari 2020 atau satu hari sebelum tangkap tangan KPK.
"Fakta ini bertolak belakang dengan pernyataan Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM, sebab sebelumnya ia berkali-kali menyebutkan bahwa Harun tidak sedang di Indonesia," tandas KMS anti korupsi.
Lebih lanjut KMS anti korupsi mengatakan kasus yang sedang ditangani oleh KPK tersebut sebenarnya sederhana saja, atau bukan kali pertama ditangani lembaga anti rasuah ini. Hanya saja, sambungnya, ada pihak-pihak tertentu yang ingin menggeser isu hukum ke wilayah politis. Tak hanya itu, KPK pun mengalami resistensi yang cukup tinggi pula.
"Pertama, KPK gagal menyegel kantor PDIP. Saat itu tim KPK dituding tidak membawa surat lengkap. Padahal Lili Pintauli Siregar sudah menegaskan bahwa tim telah dilengkapi dengan berkas administrasi yang cukup," ucap KMS anti korupsi.
"Menjadi pertanyaan, mengapa untuk melakukan penyegelan di kantor DPP PDIP begitu sulit? Padahal berkaca di masa lalu KPK sudah banyak melakukan penyegelan yang berjalan lancar. Mulai dari ruang kerja Komisioner KPU (Wahyu Setiawan), ruang kerja Menteri Agama (Lukman Hakim), sampai pada ruang kerja Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar)," tambahnya.
Kedua, lanjut KMS anti korupsi, tim KPK yang sedang bekerja di PTIK diduga dihalang-halangi dengan meminta pegawai lembaga anti rasuah ini untuk tes urine. KMS anti korupsi menduga kuat di sana ada pihak-pihak yang punya keterlibatan dalam perkara suap tersebut.
"Pada bagian ini tidak terlihat sama sekali adanya proteksi dari Pimpinan KPK. Semestinya jika ada kejadian seperti ini Firli bersama empat komisioner lainnya bisa hadir untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya," tukas KMS anti korupsi.
Ketiga, DPP PDIP diketahui membentuk Tim Advokasi Hukum. KMS anti korupsi pun mempertanyakan Tim Advokasi Hukum ini bergerak untuk kepentingan siapa.
"Untuk Pengacara Harun Masiku? Atau Pengacara Hasto? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena kesimpulan yang dibacakan pada konferensi pers cenderung tendensius kepada KPK dan mengaburkan substansi. Mulai dari mempersoalkan keabsahan OTT KPK, tudingan mencoreng citra PDIP, hingga mempertanyakan pemberitaan yang sedang berkembang saat ini," ulas KMS anti korupsi.
KMS anti korupsi menilai keberadaan Yasonna dalam pusaran kasus korupsi ini menarik untuk dianalisis. Selain menebar hoax tentang keberadaan Harun, katanya, ia juga sempat mendatangi peresmian tim advokasi hukum di DPP PDIP.
"Kedatangan Yasonna tersebut dibanjiri dengan kritik tajam. Misalnya saja, apa kepentingannya Yasonna hadir dalam peresmian tim tersebut? Bagaimana memisahkan Yasonna sebagai Menteri Hukum dan HAM dan sebagai Ketua DPP Bidang Hukum dan HAM? Atas dasar itu, publik menduga keras ada konflik kepentingan antara Yasonna dan kasus yang sedang ditangani oleh KPK ini," pungkas KMS anti korupsi.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi ini terdiri dari ICW, YLBHI, PUSaKO, PSHK, LBH Jakarta, Komunitas Sekolah Anti Korupsi Bali, LBH Pers, KontraS, MaTA, SAHdar Medan, SEKNAS FITRA, Perludem, Imparsial, JATAM, SAFEnet, BEM UI, Lokataru, PBHI, TII. (Im)