Rabu, 16 Juli 2025
Beranda / Berita / Nasional / Dua Jam Bersama Safrizal ZA: Menyatukan Tekad untuk Kemandirian Aceh

Dua Jam Bersama Safrizal ZA: Menyatukan Tekad untuk Kemandirian Aceh

Selasa, 15 Juli 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Dr. H. Safrizal ZA, M.Si, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Selasa siang pukul 12.30 WIB, redaksi Dialeksis berkunjung ke kantor Kementerian Dalam Negeri sebagai tamu istimewa Dr. H. Safrizal ZA, M.Si, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri. Sosok yang juga dikenal sebagai tokoh Aceh itu meluangkan waktu dapat menerima silaturahmi Dialeksis, bincang - bincang dimulai dalam dialog bersahaja penuh makna tentang masa depan Aceh. Dua jam waktu berlalu, tanpa terasa, obrolan hangat itu berakhir pukul 14.30 WIB.

Dalam pertemuan yang berlangsung santai namun penuh substansi itu, Safrizal menekankan bahwa pembangunan Aceh bukan semata tugas pemerintah daerah, melainkan pilihan kolektif seluruh elemen masyarakat dari ulama, pemuda, ibu rumah tangga, hingga pelaku ekonomi lokal.

“Sinergi antara masyarakat dan kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) serta Wakil Gubernur Fadhullah (Dek Fadh) harus dijaga dan diperkuat. Ini soal komitmen bersama membesarkan Aceh,” tegasnya.

Dalam refleksi dua jam itu, Safrizal tak hanya berbicara ide. Ia menyampaikan serangkaian langkah konkret yang telah ia lakukan semasa menjabat sebagai Penjabat Gubernur Aceh. Ia mempercepat operasional Pabrik Karet Remah di Aceh Barat, mendorong kehadiran PT AKA Group di sektor perkebunan, serta mendukung pendirian pabrik minyak goreng oleh PT Kande Agung.

“Selama menjabat, saya siap all-out membangun kemandirian ekonomi Aceh. Sebagai putra daerah, saya merasa bertanggung jawab membesarkan tanah kelahiran saya,” ucapnya.

Ia mengajak seluruh pihak untuk aktif terlibat dalam mendorong wirausaha lokal agar melahirkan inovasi yang relevan dengan karakteristik wilayah. Pemerintah daerah, menurutnya, juga harus memberikan regulasi yang konsisten dan menyokong investasi yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Selain itu, generasi muda juga diajak agar tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut terlibat dalam dinamika pembangunan melalui jiwa kewirausahaan dan penguasaan teknologi.

Menurut Safrizal, Pemerintah Aceh harus fokus pada data teknis yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun. Dua jenis data yang sangat krusial adalah penyebab kemiskinan dan tren lapangan kerja.

“Salah satu penyumbang kemiskinan terbesar adalah minimnya peluang kerja. Pemerintah harus terus membuka lapangan kerja di berbagai sektor,” jelasnya.

Ia menekankan, Aceh memiliki potensi luar biasa dalam berbagai sumber daya alam: pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, tambang, bahkan industri kreatif. Kemandirian pangan, menurutnya, harus menjadi fokus utama melalui penguatan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.

“Sayangnya, neraca perdagangan Aceh saat ini masih timpang. Banyak bahan pangan justru diimpor dari provinsi tetangga. Ini harus diubah,” katanya.

Safrizal mendorong agar Pemerintah Aceh mengalokasikan APBA secara signifikan untuk sektor pertanian, sambil memberikan insentif dan dukungan kepada para pengusaha lokal. Menurutnya, keberhasilan industri berbasis sumber daya alam sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku.

“Data komoditas dan ekonomi harus dicermati serius untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk impor,” tambahnya.

Ia juga menyinggung potensi sektor pertambangan yang menurutnya cukup menjanjikan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Aceh. Namun, ia mengingatkan pentingnya pendekatan yang berwawasan lingkungan.

“Kita tidak perlu alergi terhadap pertambangan. Di banyak provinsi, sektor ini terbukti menjadi penggerak ekonomi tercepat. Yang penting, harus ada pengaturan ketat dan pengawasan lingkungan,” ujarnya.

Safrizal juga mencatat bahwa 60 - 65 persen wilayah Aceh saat ini berupa kawasan hutan, termasuk hutan lindung, hutan tanaman industri, serta kawasan APL (Area Penggunaan Lain) yang banyak tidak dimanfaatkan secara ekonomi. Ia mendorong agar pemerintah fokus pada optimalisasi kawasan APL dengan melibatkan dunia usaha dan masyarakat.

Safrizal kemudian menekankan pentingnya kemudahan investasi sebagai kunci pembangunan ekonomi. Ia memperkenalkan konsep "Aceh Hospitality", yakni pendekatan yang ramah bagi investor dan pelaku usaha.

“Investasi akan datang bila Aceh membuka diri. Perizinan harus dipermudah. Jangan sampai menjadi hambatan,” ujarnya.

Ia menggarisbawahi bahwa masih banyak keluhan dari dunia usaha terkait rumitnya proses perizinan di Aceh. Oleh karena itu, ia menyerukan adanya komitmen dari pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif.

“Lapangan kerja akan terbuka jika ada investasi. Jika ada pekerjaan, maka angka pengangguran dan kemiskinan bisa ditekan,” sambungnya.

Menutup perbincangan, Safrizal kembali menggarisbawahi pentingnya kolaborasi. Menurutnya, Aceh hanya akan bisa maju jika semua pihak pemerintah, masyarakat, dan pelaku industri saling bergandeng tangan dan mendukung satu sama lain.

“Kolaborasi adalah kunci. Apa pun posisi kita di pemerintahan, masyarakat, atau dunia usaha semua harus bergerak bersama,” tegasnya.

Pada pukul 14.30 WIB, diskusi dua jam itu pun usai. Sebelum beranjak, Safrizal kembali menegaskan semau pihak harus mendukung pasangan kepemimpinan Mualem - Dek Fadh.

“Mari kita bersatu. Bergandengan tangan untuk membawa Aceh menjadi lebih maju, mandiri, dan sejahtera,” pungkasnya mantap.

Dua jam bersama Dr. H. Safrizal ZA, M.Si bukan sekadar bincang santai antara narasumber dan media. Itu adalah percakapan batin seorang putra daerah yang tak pernah lelah mencintai Aceh, membalut keprihatinan dengan semangat perubahan, dan memadukan harapan dengan langkah nyata.

Dalam ruang yang hening namun hangat di jantung ibu kota, terasa sekali bahwa ia tidak sedang menyusun narasi politik, melainkan menyuarakan kerinduan seorang anak bangsa terhadap tanah kelahirannya. Bahwa Aceh bukan sekadar provinsi dengan sejarah panjang, tapi rumah yang harus terus dijaga agar tak roboh diterpa zaman.

Kata - kata Safrizal adalah ajakan, sekaligus peringatan. Bahwa Aceh harus bangkit bukan karena belas kasihan, tetapi karena keberanian untuk mandiri. Karena kerja keras yang konsisten, dan karena keyakinan bahwa masa depan dapat diraih jika semua pihak saling menggenggam, bukan saling menjatuhkan.

Masyarakat Aceh, para petani di pedalaman, nelayan di pesisir, pemuda di kampus, hingga pengusaha lokal di gampong - gampong, semua adalah bagian dari orkestrasi besar menuju kemajuan. Dan setiap langkah kecil yang dilakukan hari ini entah mendidik anak, mengolah tanah, merawat lingkungan, atau membangun usaha adalah kontribusi nyata untuk negeri ini.

“Jangan menunggu sempurna untuk bergerak,” seolah itulah pesan tersirat Safrizal. Karena sesungguhnya, perubahan tidak datang dari satu orang atau satu kebijakan, melainkan dari hati yang tulus dan semangat kolektif yang tak mudah patah.

Semoga semangat kolaborasi ini bukan hanya menjadi bagian dari wacana semata, tapi menjadi denyut nadi dalam setiap langkah pembangunan Aceh. Demi tanah rencong yang lebih berdaulat, lebih bermartabat, dan lebih membanggakan untuk generasi mendatang.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI