kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Ekonom: Krisis Venezuela Lebih Parah dari Krismon 1998

Ekonom: Krisis Venezuela Lebih Parah dari Krismon 1998

Sabtu, 25 Agustus 2018 17:04 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: AFP

Dialeksis.com - Krisis ekonomi yang terjadi di Venezuela lebih parah dari krisis yang melanda Indonesia pada 1998 silam atau krisis moneter (krismon). Sebab, nilai tukar rupiah cepat pulih setelah krisis.

Ekonom Intitute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menerangkan, kondisi tersebut berbeda dengan Venezuela. Mata uangnya justru terus merosot tak kunjung pulih.

"Kalau kita bilang begitu (lebih parah). Tahun 1998 ya ada krisis politik, rupiah Rp 17 ribu waktu itu nggak lama. Pada zaman Habibie sampai Rp 9.000. Kalau Venezuela sudah lama sekali beberapa tahun lalu," ujar dia di Jakarta, Jumat (24/8/2018).

Eko melanjutkan, meski Indonesia mengalami krisis namun ekonominya juga tidak betul-betul mandek. Ekonomi Indonesia masih bergerak ditopang oleh pergerakan ekonomi di daerah.

"Krisis 98 kan yang krisis perkotaan, yang jual komoditas mereka pesta komoditi, kalau kita lihat kebutuhan pokok dan lain-lain. Ada impor tapi sebetulnya supply petani masih ada. Saya rasa ada kenaikan harga karena berkurangnya impor atau kurs melemah, tapi secara fundamental nggak selemah Venezuela," ungkapnya.

Sementara, Venezuela ekonominya tak bergerak karena krisis. Eko menjelaskan, ekonomi negara surga minyak ini sebenarnya sempat melonjak karena kenaikan harga minyak. Tapi, kenaikan harga tersebut tidak dimanfaatkan untuk membangun kemandirian ekonomi dalam negeri. Kebutuhan dalam negeri dipenuhi oleh impor.

Saat harga minyak jatuh, perekonomian Venezuela langsung terpukul. "Harga minyak jatuh, jatuh pulalah ekonomi mereka karena tidak bisa memproduksi sendiri. Terutama kebutuhan pokok," ungkapnya.

Kondisi Venezuela juga semakin sulit karena dia mendapat sanksi dari Amerika Serikat (AS).

"Kemandirian ekonomi sangat rendah, tak bisa produksi barang, jumlah produksi terbatas, kena embargo AS. Semakin nggak ada barang, yang terjadi harga barang mahal, pemerintah menutup dengan cetak uang, akhirnya inflasi gila-gilaan," tutupnya. (Detik)

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda