DIALEKSIS.COM | Jakarta - Polemik terkait kepemilikan empat pulau di Aceh yakni Pulau Rondo, Pulau Bras, Pulau Benggala, dan Pulau Rhembiah.baru-baru ini mencuat ke permukaan dan menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Sengketa tersebut bukan semata-mata soal batas administratif belaka, melainkan menjadi cerminan dari persoalan mendalam yang belum sepenuhnya diselesaikan sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Menurut pengamat pendidikan dan kebijakan publik Aceh, Dr. Iswadi, M.Pd, kisruh empat pulau ini justru dapat menjadi momen penting untuk menyelesaikan secara menyeluruh permasalahan batas wilayah Aceh sesuai dengan butir-butir kesepakatan dalam MoU Helsinki.
Ia menekankan bahwa konflik ini adalah alarm yang membangunkan semua pihak baik pemerintah pusat maupun Pemerintah Aceh untuk duduk bersama dan menyelesaikan persoalan tapal batas secara tuntas dan adil.
Dalam pandangannya, Dr. Iswadi menyatakan bahwa permasalahan batas wilayah bukan hanya perkara teknis administratif atau sekadar pertarungan ego antardaerah. Lebih dari itu, ini menyangkut penghormatan terhadap semangat damai yang telah dibangun melalui MoU Helsinki. Salah satu poin penting dalam MoU tersebut adalah pengakuan terhadap keistimewaan dan kekhususan Aceh, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam serta batas wilayah administratif.
“Jika empat pulau ini menjadi sengketa, maka itu merupakan indikasi bahwa implementasi MoU belum sepenuhnya dituntaskan. Ini kesempatan penting untuk melakukan peninjauan ulang terhadap seluruh proses delimitasi wilayah Aceh, baik darat maupun laut,” ujar Dr. Iswadi dalam keterangannya kepada Dialeksis.com, Minggu (15/6/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa MoU Helsinki telah memberikan kerangka hukum dan moral bagi penyelesaian konflik Aceh yang berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, beberapa aspek implementasi masih belum optimal, termasuk kejelasan batas wilayah yang kini menjadi pangkal kisruh. Ia menyayangkan bahwa selama hampir dua dekade pasca penandatanganan MoU, isu batas wilayah masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan secara menyeluruh.
Dr. Iswadi menilai bahwa penyelesaian batas wilayah, termasuk status keempat pulau tersebut, harus dilakukan melalui pendekatan dialogis, transparan, dan berbasis kesepahaman hukum. Ia menyarankan agar pemerintah membentuk tim independen yang melibatkan unsur Pemerintah Aceh, tokoh masyarakat, akademisi, serta pihak-pihak yang memahami konteks sejarah dan hukum MoU Helsinki.
“Jangan sampai kisruh ini berkembang menjadi isu yang merusak semangat perdamaian. Harus ada komitmen bersama untuk menjadikan MoU Helsinki sebagai acuan utama dalam merumuskan penyelesaian batas,” tegasnya.
Dr. Iswadi juga menggarisbawahi pentingnya literasi politik dan pemahaman publik terhadap substansi MoU Helsinki. Ia menyebut bahwa banyak masyarakat, bahkan sebagian pejabat, belum sepenuhnya memahami isi kesepakatan tersebut, sehingga implementasinya sering kali berjalan parsial dan tidak konsisten. Dalam konteks ini, ia mendorong lembaga pendidikan dan media massa untuk berperan aktif dalam menyosialisasikan nilai-nilai damai dan hak-hak Aceh yang diakui dalam perjanjian itu.
“MoU Helsinki bukan hanya milik elite politik atau kombatan. Itu adalah kontrak damai antara rakyat Aceh dan Republik Indonesia. Maka, seluruh proses pembangunan dan kebijakan di Aceh harus merujuk pada semangat dan isi kesepakatan itu,” ujar akademisi dari Banda Aceh ini.
Terlepas dari polemik empat pulau tersebut, Dr. Iswadi melihat adanya peluang besar untuk memperkuat kembali konsolidasi perdamaian melalui upaya penyelesaian tapal batas. Menurutnya, kisruh ini adalah momentum reflektif yang mengingatkan bahwa perdamaian sejati memerlukan kerja keras dan komitmen berkelanjutan dari semua pihak.
Akademisi yang juga politisi muda asal Aceh ini menyampaikan bahwa Aceh membutuhkan keberanian politik dari pemimpin daerah dan pusat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan adil dan berlandaskan pada perjanjian damai yang telah disepakati bersama.
“Kita tidak boleh membiarkan MoU Helsinki menjadi dokumen sejarah yang kehilangan makna. Ia harus hidup dalam setiap kebijakan dan keputusan strategis yang menyangkut Aceh, pungkas Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut. [*]