DIALEKSIS.COM | Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Enny Nurbaningsih mengonfirmasi langsung mengenai benar atau tidaknya ada perundungan (bullying) kepada dokter yang mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Hakim Enny bertanya langsung kepada dokter spesialis senior yang ada di ruang sidang MK.
Momen itu terjadi saat sidang nomor perkara 111/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 23 Mei 2025. Enny bertanya kepada tiga dokter spesialis, yakni dokter spesialis bedah saraf di Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Zainal Muttaqin, dokter spesialis anak RSCM Piprim Basarah Yanuarso, dan dokter jantung di Rumah Sakit Harapan Kita bernama Renan Sukmawan.
"Saya ingin mendapatkan satu jawaban yang jujur, karena ini menyangkut soal kesehatan, soal nyawa ya. Sebetulnya saya juga dapat informasi cukup banyak soal ini, apakah memang benar bahwa dokter yang mengikuti program PPDS, itu secara faktual sering sekali mengalami, banyak yang mengalami soal misalnya kekerasan fisik, verbal. Termasuk kemudian yang sistemik dan adanya pungutan-pungutan yang tidak sesuai?" ucap hakim Enny bertanya.
"Saya ingin dapatkan kejujurannya. Selama mengikuti PPDS, bener nggak sih sebetulnya di sana itu seperti barak militer?" lanjutnya bertanya.
Enny juga bertanya apakah hubungan antara senior dan junior PPDS itu sangat jauh. Dia meminta kejujuran para dokter spesialis menjawab dengan jujur.
"Sehingga hubungan antara senior-junior itu begitu kuatnya seolah-olah gunung es yang tidak bisa diruntuhkan, itu yang saya juga pernah langsung mengetahui sebetulnya, itu sejauh ini seperti apa?
Karena ini menyangkut pendidikan yang sangat penting, bener nggak itu terjadi?" tanya Enny lagi.
Jawaban 3 Dokter Spesialis
Para dokter spesialis itu masing-masing menjawab sesuai versi departemennya. Mereka mengaku tidak ada bullying yang terjadi di departemennya.
"Kalau di tempat kami sendiri, kita menjamin itu tidak, di tempat departemen bedah saraf di Fakultas Kedokteran Undip, tetapi kami merasakan bahwa ada hal-hal yang bersifat seperti meminta anak didik untuk melakukan sebagai hukuman untuk tambah jaganya dan itu seperti itu yang kami lihat," jawab Zainal.
"Coba, Bapak, nggak boleh bohong lho, Pak, ya di sini," timpal hakim Enny.
Hakim Enny kemudian meminta dokter Piprim. Jawabannya kurang lebih sama dengan Zainal.
Piprim awalnya meminta hakim Enny membedakan mana yang true bullying dan bukan. Menurutnya, beberapa masyarakat tidak bisa membedakan mana yang benar bullying dan tidak.
"True bullying, Yang Mulia, tidak terjadi di sepanjang saya mengalami pendidikan di PPDS di FK UI RSCM, tidak pernah ada yang namanya seperti itu, tapi kalau misalnya saya mesti menginap di rumah sakit karena besok menyiapkan ronde di bagian hematologi, pasiennya banyak, dan saya harus perfect mengetahui betul detail pasien itu, nggak boleh salah demi kepentingan pasien-pasien, saya rasa maka beban kerja seperti itu memang biasa kita tanggung sehari-hari, Yang Mulia, dan itu menurut saya bukan bullying, itu adalah risiko dari kami menempuh pendidikan spesialis," kata Piprim.
Hal yang sama juga dikatakan Renan. Dia mengatakan tidak ada bullying di RS Harapan Kita. Bahkan, kata Renan, dokter yang menempuh PPDS di Harapan Kita mendapat honor sehingga kesejahteraannya lebih baik.
"Saya kebetulan pernah menjadi Ketua Prodi Jantung dan Pembuluh Darah tempat kami di RS Harapan Kita.
Salah satu yang buat kondusif adalah di sana pesertanya, walaupun bayar uang kuliah ke universitas, tapi diberi honor oleh RS Harapan Kita, jadi sehingga kesejahteraannya juga lebih baik, dan kemudian hal-hal seperti tadi (bullying), harus keluarkan uang dan sebagainya, tidak ada," ucap Renan.
Renan mengaku, selama menjadi ketua prodi di RS Harapan Kita, mempersilakan setiap orang melapor memakai e-mail kaleng yang identitasnya disembunyikan. Dia mengaku pernah menemukan masalah mengenai jadwal jaga, tapi bukan bullying.
"Ada hal-hal yang misalnya ketika saya jadi kaprodi, kalau senior memiliki jatah jaga lebih sedikit daripada junior, saya minta mereka (junior) membuat e-mail kaleng ke saya, anonim, dan itu ketika itu misalnya terjadi ada distribusi jaga yang mungkin berbeda, maka saya turun. Hal-hal seperti itu saja," ucap Renan. (Detik)