ICW Kecewa kepada KPK dan MA soal Tuntutan dan Vonis Koruptor
Font: Ukuran: - +
Foto: Diskusi ICW (Audrey Santoso/detikcom)
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik tren vonis dan tuntutan terhadap kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Sanksi pidana terhadap para kepala daerah tersebut dianggap tak memberi efek jera bagi pelaku dan efek cegah bagi kepala daerah lainnya.
"Kami masih kecewa terhadap putusan Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung dan tuntutan KPK yang masih kami anggap sedang," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana di kantornya, Jalan Kalibata Timur IV D, Nomor 6, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (16/12/2018).
Kurnia mengatakan tren vonis pengadilan kepada kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi menyentuh rata-rata angka 6 tahun 4 bulan pidana penjara. Bagi ICW, vonis kurungan penjara tersebut masuk level hukuman sedang.
"KPK mengklaim ada 104 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak KPK berdiri. Tren vonis kepala daerah sepanjang 2004-2018, vonis kepala daerah rata-rata hanya menyentuh 6 tahun 4 bulan dan kami nilai itu putusan dalam taraf sedang," ujar Kurnia.
ICW menilai tren vonis hukuman sedang kepada kepala koruptor terjadi karena tiga hal yaitu Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), tuntutan jaksa dari KPK dan belum adanya kesamaan pandangan di antra hakim soal hukuman yang layak bagi koruptor.
"Regulasi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang sangat memungkinkan jadi celah-celah hakim memvonis ringan koruptor. Mayoritas dakwaan KPK menggunakan Pasal 2 dan 3 (Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Nomor 20 Tahun 2001), yang mana pasal itu pasal kerugian uang negara," ucap Kurnia.
Dalam pasal 3, jelas Kurnia, penyelenggara negara yang terbukti korupsi diancam pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Sementara dalam Pasal 2 yang sering dijadikan alat untuk menjerat masyarakat, ancaman pidana penjaranya lebih tinggi, yaitu minimal 4 tahun.
Masih terkait regulasi, Kurnia menuturkan sanksi untuk tindak suap-menyuap yang termaktub dalam Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui menjadi Nomor 20 Tahun 2001 juga mempengaruhi.
"KPK ketika menangani kasus korupsi dengan instrumen operasi tangkap tangan (OTT), menggunakan pasal 5 ayat 1 dan 2. Yang kita sesalkan hukuman bagi pemberi dan penerima sama," tutur Kurnia.
Dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 diterangkan pelaku suap baik dari unsur masyarakat atau penyelenggara negara terancam pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun.
"Harusnya pihak penyelenggara negara justru yang diperberat," tegas Kurnia.
Kemudian soal faktor tuntutan jaksa, ICW pun menilai KPK masih menuntut dengan pidana penjara level sedang. Berdasarkan data ICW, tuntutan level sedang oleh KPK terhadap kepala daerah yang korupsi terjadi di 16 dari 84 perkara, yang disidangkan di tingkat pengadilan.
"Dari 84 perkara, hanya 11 yang tuntutannya berat seperti Rita Widyasari dituntut 15 tahun dan Nur Alam 18 tahun," imbuh Kurnia.
"Ada disparitas tuntutan. Ada kasus yang dimensinya sama, pasal dakwaan sama, nilai kerugian sama, misalnya kasus mantan Bupati Dompu kerugian negara Rp 3,5 miliar, tuntutan 2,5 tahun. Mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh, kerugian negara hampir sama Rp 4 miliar, tuntutan Abdullah Puteh 8 tahun," terang Kurnia.
Terakhir, Kurnia menandaskan rata-rata sanksi pidana penjara yang dijatuhi hakim di Mahkamah Agung (MA) terhadap kepala daerah yang terbukti korupsi selama 7 tahun.
"Dari 84 kasus, 5 divonis ringan. 4 dari 5 perkara yang mendapat vonis ringan tidak diketuai Artidjo. Kita melihat belum ada pandangan yang sama antara hakim-hakim MA dengan Artidjo. Putusan adalah mahkota dari pengadilan dan ICW sangat kecewa melihat putusan sidang kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah," tandas Kurnia. detik.com