Ini Alasan Pimpinan KPK Ikut Judial Review UU No 30 Tahun 2019
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjelaskan, beberapa poin yang akan di perjuangkan di dalam judicial review tersebut. Di antaranya dari segi formil, pembahasan mengenai UU tersebut yang sebetulnya tidak masuk ke dalam Prolegnas. Sehingga, pengesahan UU itu seakan-akan terburu-buru.
"Nanti ada beberapa hal misalnya itukan tidak masuk prolegnas kan tiba-tiba muncul," kata Syarif di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (20/11/2019).
Dengan adanya hal itu, Syarif menilai bahwa proses pembentukan UU itu seperti tertutup. Mengingat, kata Syarif, lembaga antirasuah tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan tersebut.
"Kedua, kalau kita lihat dari waktu pembahasannya dibuat sangat tertutup, bahkan tidak berkonsultasi dengan masyarakat, dan bahkan sebagai stakeholder utama KPK, tidak juga dimintai pendapat," ujar Syarif.
Selanjutnya, dikatakan Syarif, naskah akademik UU tersebut juga tidak pernah diperlihatkan ke masyarakat luas. "Dan ini banyak lagi dan bertentangan juga dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi banyak hal yang dilanggar itu dari segi formilnya," tutur Syarif.
Sedangkan dari sisi materiilnya, UU Nomor 19 Tahun 2019 tersebut memiliki pertentangan antara Pasal 69D dengan Pasal 70C.
Pasal 69D menyatakan, 'Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah'. Sedangkan, Pasal 70C menyebutkan, 'Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini'.
"Bahkan sebenarnya dulu ada kesalahan dari pengetikan antara misalnya syarat dari komisioner apakah 40 tahun atau 50 tahun. Seperti itu jadi banyak sekali," tutur Syarif.
Oleh sebab itu, Syarif berpandangan bahwa pembentukan UU KPK baru itu dibuat tergesa-gesa tanpa adanya urgensi. Karena itu, pimpinan memutuskan untuk mengajukan judicial review.
"Jadi, memang kelihatan sekali UU ini dibuat secara terburu-buru. Oleh karena itu, kesalahannya juga banyak. Apa-apa saja yang dimintakan dalam judicial review ini nanti kami akan sampaikan ke Mahkamah Konstitusi," ujar Syarif. (Im/okezone)