Ini Instruksi Kepala Intelijen Polri: Perintahkan Pasukan ke Papua Barat untuk 'Musnahkan' Separatis
Font: Ukuran: - +
Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri, Komjen Paulus Waterpauw. Foto/REUTERS
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Polisi dan tentara Indonesia telah dikerahkan ke Papua Barat dan akan terus bertahan di sana sampai kelompok separatis bersenjata yang sudah dilabeli sebagai teroris "dimusnahkan".
Tujuan dari misi pasukan Indonesia itu diungkap Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri, Komjen Paulus Waterpauw, dalam wawancaranya dengan Reuters yang dilansir Jumat (21/5/2021).
Di tengah konflik yang bergolak, sekitar 400 pasukan tambahan telah dikerahkan ke Papua Barat menyusul gugurnya Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Papua, Brigadir Jenderal TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya oleh serangan kelompok separatis.
Gugurnya jenderal intelijen itulah yang membuat pemerintah Presiden Joko Widodo menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok teroris pada bulan lalu.
Dalam wawancaranya, Paulus Waterpauw, seorang jenderal bintang tiga dan penduduk asli Papua, membuat pernyataan terkuat tentang tekad pemerintah Indonesia untuk menekan pemberontakan separatis bersenjata selama puluhan tahun di Papua yang kaya sumber daya.
“Tujuannya adalah untuk memusnahkan mereka yang berada di balik tindakan kekerasan yang mengerikan ini,” katanya.
"Operasi ini akan terus berjalan sampai kita mendapatkan hasil yang maksimal. Selama mereka belum ditangkap, kami akan melakukan yang terbaik untuk melumpuhkan dan menangkap mereka," ujarnya.
Waterpauw mengutip pembunuhan 19 pekerja jalan pada Desember 2018, penghancuran sekolah dan klinik kesehatan, dan serangan terhadap warga sipil sebagai beberapa dari "peristiwa brutal baru-baru ini" yang telah mendorong gelombang pengerahan pasukan ke Papua Barat.
Sebby Sambom, juru bicara OPM, mengatakan ada alasan yang masuk akal di balik serangan kelompoknya.
“Penargetan militer dan polisi tidak akan berhasil,” ujarnya. "Setiap tahun akan ada petempur baru. Mereka akan meningkat, bukan menurun," ujarnya.
Kelompok separatis Papua berdalih tindakan mereka sah karena bekas kekuasaan kolonial Belanda menjanjikan daerah itu bisa merdeka, namun menurut mereka, justru dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 1963.
Indonesia mengatakan Papua adalah wilayahnya setelah pemungutan suara 1969 yang diawasi oleh PBB yang mendukung integrasi Papua. Namun, kubu separatis mengeklaim pemungutan suara hanya melibatkan sekitar 1.025 orang dan tidak mencerminkan aspirasi mereka.
Waterpauw mengatakan kepada Reuters bahwa satuan tugas baru yang dibentuk untuk menangani kekerasan di Papua”yang dikenal sebagai Operasi Nemangkawi”memiliki dua cabang. Pengejaran serta penangkapan separatis bersenjata dan “pendekatan lunak”” pengembangan komunitas dan peningkatan konsultasi dengan kelompok agama dan komunitas.
Waterpauw mengatakan telah terjadi 26 serangan oleh separatis bersenjata tahun ini, termasuk tiga serangan pada Selasa lalu. Dua tentara Indonesia disergap dan senjata mereka dirampas oleh separatis bersenjata. "Dimutilasi dan dibunuh," katanya.
Dalam dua insiden lainnya pada hari Selasa, sambung dia, lima tentara terluka. Pengamat dan analis hak asasi manusia mengatakan telah terjadi pelanggaran oleh kedua belah pihak.
"Kami terus menerima laporan yang dapat dipercaya tentang penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh militer dan polisi, termasuk pembunuhan di luar hukum, pelecehan, penangkapan sewenang-wenang, dan penahanan penduduk asli Papua," kata Ravina Shamdasani, juru bicara Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, kepada Reuters bulan lalu.
Penyelidikan Korupsi
Pemerintah Indonesia juga telah meluncurkan kampanye baru untuk menuntut para pejabat yang diduga korupsi di Papua. Mereka diduga melakukan korupsi sebagian dari dana Rp1.092 triliun yang dikirim ke wilayah tersebut oleh pemerintah pusat sejak 2001.
Pendanaan pemerintah dalam jumlah besar itu tidak membawa perbaikan besar-besaran dalam kesejahteraan orang Papua, yang tetap termasuk yang paling dilanda kemiskinan di Indonesia.
Awal pekan ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Mahfud MD mengatakan gerakan separatis di Papua memiliki tiga sayap; politik, klandestin, dan teroris.
“Kami mengundang dialog dengan kelompok politik dan klandestin,” katanya [sindonews.com].