Ini Kelemahan Pengelolaan Utang Masa Jokowi Menurut BPK
Font: Ukuran: - +
Ketua BPK Agung Firman Sampurna. [CNN Indonesia/Adhi Wicaksono]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif dalam menjamin biaya minimal dan risiko terkendali, serta kesinambungan fiskal untuk periode 2018 hingga kuartal ketiga tahun lalu. Hal itu terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan pengelolaan utang pemerintah pusat ini dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas.
Menurut dia, pengelolaan utang tidak efektif lantaran strategi pengembangan pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik belum meningkatkan likuiditas pasar SBN.
"Masih ada kelemahan dalam perencanaan maupun pelaksanaan untuk mencapai target atau arah kebijakan," tulis Agung dalam IHPS II 2019, dikutip Selasa (5/5/2020).
Agung menjelaskan pemerintah sejauh ini belum memiliki indikator pencapaian yang jelas terkait kebijakan pengembangan pasar SBN.
Selain itu, metode perhitungan pencapaian target turnover ratio juga berbeda dengan apa yang dituliskan dalam Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan 2018-2024 dan perhitungan dalam indikator kinerja utama Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (IKU DJPPR) Kementerian Keuangan.
"Akibatnya, upaya pengembangan pasar SBN untuk mendapatkan yield (imbal hasil) yang rendah menjadi tidak terukur dan tidak terarah, serta yield obligasi pemerintah Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain," jelas Agung.
Selain itu, Agung mengungkapkan pengelolaan utang pemerintah pusat belum didukung peraturan yang terkait dengan manajemen risiko keuangan negara dan penerapan fiscal sustainability analysis (FSA) secara komprehensif.
Karenanya, BPK menganggap pemerintah pusat kerap mengambil keputusan yang tidak berdasarkan pertimbangan risiko yang matang.
Kemudian, lanjut dia, pemerintah pusat tak memiliki parameter dan indikator dalam memanfaatkan utang untuk kegiatan produktif. Lalu, penetapan yield SBSN yang diterbitkan dengan skema private placement pun disebutnya tak konsisten.
Untuk itu, BPK merekomendasikan beberapa hal kepada Kementerian Keuangan dan Kepala Bappenas dalam mengelola utang pemerintah pusat. Misalnya, pemerintah harus bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk menetapkan pembagian tugas dalam mengembangkan pasar SBN.
Rekomendasi lainnya, antara lain menyusun kerangka kerja mengenai manajemen risiko keuangan negara, parameter hingga indikator pembiayaan, menyempurnakan kebijakan dalam penetapan yield, dan menetapkan kebijakan monitoring dalam menetapkan estimasi yield surat utang. (CNN Indonesia)