Ini Tanggapan Peneliti Universitas Leiden Mengenai Rencana Pemindahan Ibukota
Font: Ukuran: - +
Profesor Studi Kontemporer Indonesia dari Universitas Leiden, David Henley. Foto :VIVAnews/Arrijal Rachman
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Profesor Studi Kontemporer Indonesia dari Universitas Leiden, David Henley, memandang negatif rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke salah satu wilayah di Pulau Kalimantan. Pemindahan ibu kota ke wilayah itu dianggap hanya akan menyebabkan para pejabat publik tidak mengetahui realitas sesungguhnya dari kondisi Indonesia.
Dia mencontohkan hal itu dari kondisi yang terjadi di Nigeria. Pada 1976, Nigeria memindahkan ibu kotanya dari Lagos ke Abuja, kemudian diresmikan sebagai ibu kota pada 1991. Namun, setelah dipindahkan tersebut, Abuja menjadi satu-satunya kota yang penuh kemewahan karena memang telah didesain secara terencana.
"Saya sudah melihat itu terjadi di Nigeria, saya pernah bermalam beberapa kali di Abuja dan ini bukan Nigeria. Banyak politisi yang tinggal di lingkungan yang sangat artifisial, istimewa, dan terpencil itu, dan mungkin tidak baik untuk pengambilan keputusannya," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu, 25 Agustus 2019.
Menurut Henley, potensi itu akan terjadi juga di Indonesia, di mana pemerintah berencana memindahkan ibu kotanya di suatu tempat yang baru di tengah-tengah belantara pulau Kalimantan dengan anggaran mencapai Rp466 triliun. Padahal, Jakarta menyimpan segudang masalah ekonomi sosial yang mencerminkan keseluruhan kondisi Indonesia.
"Saya setuju itu tidak perlu, itu buang-buang uang saja dan juga para pejabat maupun politisi akan terisolasi di kota baru yang megah, yang dibangun dengan indah di tengah-tengah Kalimantan, Sulawesi atau di mana pun itu. Mereka akan lebih cenderung kehilangan kontak dengan realitas populasi masyarakat secara umum," tuturnya.
Jika anggaran pemindahan ibu kota tersebut dikatakannya digelontorkan fokus untuk memperbaiki segala persoalan ekonomi sosial di Jakarta saat ini, seperti banjir, kemacetan, ketimpangan yang sangat besar antara penduduk miskin dan kaya, itu akan bisa menyelesaikan masalah di Jakarta, sambil juga memperbaiki kondisi daerah-daerah lainnya.
"Kebutuhan dan tekanan-tekanan mendesak dari Jakarta itu sendiri mungkin terabaikan karena seperti Jakarta dalam bahaya akan tenggelam di bawah air, perlu uang dan upaya untuk mencegahnya. Dan itu mungkin tidak akan terjadi jika politisi nasional anda tidak di Jakarta, mereka ada di tempat lain yang jauh," tutur David. (im/vivanews)