DIALEKSIS.COM | Jakarta - Amnesti dan abolisi bukan sekadar instrumen hukum. Keduanya juga cermin dari dinamika politik dan relasi kekuasaan di negeri ini. Redaksi Dialeksis menelusuri jejak penerima amnesti dan abolisi yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia sejak era reformasi, memperlihatkan bagaimana keberpihakan, konteks politik, dan wajah hukum kerap berkelindan.
Tahun 1998, di tengah gelombang reformasi yang mengguncang Orde Baru, dua aktivis buruh menjadi simbol perjuangan sipil melawan represi negara. Muchtar Pakpahan, pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), divonis karena melanggar pasal subversi akibat kegiatannya membela hak - hak buruh. Ia kemudian memperoleh abolisi dari Presiden B.J. Habibie.
Tidak lama berselang, aktivis lain, Sri Bintang Pamungkas, mengalami nasib serupa. Ia juga dikenai vonis atas pasal subversi karena aktif dalam gerakan buruh dan kritik terhadap rezim. Habibie, yang kala itu menjadi simbol transisi demokrasi, memberikan abolisi kepada Sri Bintang sebagai bagian dari pembebasan politik terhadap para pejuang demokrasi.
Masuk ke tahun 1999, giliran Budiman Sudjatmiko, tokoh muda dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang menerima pengampunan. Budiman dijatuhi hukuman akibat diduga sebagai dalang kerusuhan dalam peristiwa 27 Juli 1996, dikenal sebagai Kudatuli. Ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, ia memberikan amnesti kepada Budiman, sebagai bentuk rekonsiliasi dan penghormatan atas perjuangan aktivis pro - demokrasi.
Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, amnesti kembali menjadi instrumen untuk menyelesaikan konflik dan mengoreksi kekeliruan hukum. Pada 2016, Jokowi memberikan amnesti kepada Din Minimi, eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sempat angkat senjata kembali karena merasa kecewa terhadap pelaksanaan perjanjian damai Helsinki. Din Minimi yang awalnya divonis makar, kemudian dibebaskan melalui amnesti sebagai langkah perdamaian lanjutan di Aceh.
Tiga tahun kemudian, 2019, kasus hukum yang menimpa Baiq Nuril Maknun menggugah empati publik. Guru SMAN 7 Mataram itu divonis bersalah berdasarkan UU ITE setelah menyebarkan bukti percakapan asusila dari atasannya, Kepala Sekolah. Di tengah tekanan publik dan advokasi kelompok sipil, Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Keputusan ini disambut sebagai koreksi terhadap ketimpangan dalam penegakan UU ITE.
Kisah lain datang dari ujung barat Indonesia, Aceh. Tahun 2021, dosen Universitas Syiah Kuala, Saiful Mahdi, dijatuhi hukuman akibat komentarnya di grup WhatsApp terkait dugaan nepotisme dalam perekrutan dosen.
Ia divonis berdasarkan UU ITE atas tuduhan pencemaran nama baik institusi. Setelah menuai kontroversi nasional dan desakan dari kelompok akademik, Presiden Jokowi pun memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi sebagai wujud keberpihakan terhadap kebebasan akademik dan berpendapat.
Memasuki era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dua tokoh nasional menjadi penerima kebijakan hukum luar biasa ini.
Pertama, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, menjadi sorotan setelah divonis dalam kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI. Meskipun proses hukumnya berjalan hingga tahap vonis, Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada Hasto, sebuah langkah yang menimbulkan berbagai tafsir politik dan hukum.
Kedua, Thomas Trikasih Lembong atau akrab disapa Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang divonis dalam kasus korupsi impor gula. Berbeda dengan Hasto, Tom Lembong mendapatkan abolisi, yaitu penghapusan proses hukum sebelum menjalani pidana. Keputusan ini dikeluarkan Presiden Prabowo pada tahun 2025 dan menjadi salah satu keputusan abolisi pertama di periode pemerintahannya.
Jejak sejarah pemberian amnesti dan abolisi di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan ini seringkali tidak semata - mata berdimensi hukum, melainkan juga politik, kemanusiaan, dan pertimbangan strategis negara. Dalam beberapa kasus, pengampunan menjadi alat untuk meredakan konflik, memperbaiki kesalahan sistem hukum, atau bahkan sebagai simbol kompromi politik.
Namun di sisi lain, kebijakan semacam ini juga menuai kritik karena berpotensi menjadi alat transaksional kekuasaan. Dalam konteks modern, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses pemberian amnesti dan abolisi harus terus diperkuat.
Sepanjang reformasi, setidaknya delapan nama besar pernah memperoleh amnesti dan abolisi. Narasinya beragam: ada yang korban hukum represif, ada pula yang elit politik.
Amnesti dan abolisi memang sah secara konstitusional. Pasal 14 UUD 1945 memberi Presiden hak prerogatif. Namun ketika kebijakan ini menyentuh wilayah abu abu antara keadilan dan kekuasaan pertanyaan publik tak bisa dihindari: siapa yang sebenarnya dilindungi oleh pengampunan negara?
Dalam catatan sejarah, setiap presiden meninggalkan warisan pengampunan. Habibie membebaskan aktivis, Gus Dur berdamai dengan oposisi, Jokowi merangkul korban sistem, dan Prabowo kini mulai mencatat babak sendiri. Pertanyaannya, akan ke mana arah berikutnya?