kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Kala Omnibus Law Campur Tangan Urusan Pers, AJI Menolak Keras

Kala Omnibus Law Campur Tangan Urusan Pers, AJI Menolak Keras

Jum`at, 28 Februari 2020 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi aksi jurnalis. [Foto: Merdeka.com/Erwin Yohanes]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terus menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja ala Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Bagi AJI, RUU Omnibus Law itu berusaha mengembalikan kontrol pemerintah terhadap pers seperti di masa Orde Baru.

Salah satunya dengan tambahan satu pasal mengenai pengenaan sanksi ke perusahaan pers lewat Peraturan Pemerintah (PP). Sehingga, pemerintah bisa memerintahkan satu lembaga negara untuk mengeksekusi sanksi tersebut. Pasal ini tidak ada dalam UU Pers saat ini.

“Apakah Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), atau siapa, kami tidak tahu, tapi ini lagi-lagi lahirnya Departemen Penerangan baru,” kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani, dalam konferensi pers di Kantor AJI Jakarta, Jakarta Selatan, Kamis (27/2/2020).

Sejak 12 Februari 2020, pemerintah telah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja ini ke DPR. Empat hari kemudian, empat organisasi pers, yaitu AJI, IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI, dan Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pers langsung menolak campur tangan pemerintah pada pers lewat RUU ini.

Selain intervensi lewat PP, RUU Cipta Kerja itu menambah denda bagi perusahaan pers dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Denda diberikan, salah satunya perusahaan pers melanggar Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU Pers saat ini.

Pasal 5 ayat 1 ini berbunyi, “Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Sementara ayat 2 berbunyi, “Pers wajib melayani hak jawab.”

Asnil pun mengingatkan bahwa kebebasan pers tanpa campur tangan pemerintah saat ini, merupakan perjuangan sejak 1994, di masa Orde Baru. Sehingga, reformasi yang lahir pada 1998, menghasilkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memiliki semangat self regulatory. Kini, pers tetap diawasi, bukan oleh pemerintah, tapi oleh organisasi independen, yaitu Dewan Pers.

Menurut Asnil, AJI juga menolak seluruh aturan dalam RUU Cipta Kerja bukan hanya soal aturan pers. Sebab, AJI melihat ada cacat prosedur dalam pembentukan UU ini. Para jurnalis, yang juga merupakan buruh, ikut terancam dengan berbagai perubahan aturan pesangon dan lain-lain.

Di tengah tuntutan protes ini, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD pun menyatakan tidak boleh ada pengekangan kebebasan pers, termasuk dalam draf RUU Cipta Kerja.

"UU ini untuk mempermudah, kok malah mau mengekang kebebasan pers. Itu tidak boleh," kata Mahfud di kantornya, Jakarta, Selasa, 18 Februari 2020.

Mahfud memastikan pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang muatannya dinilai sebagai upaya pengekangan terhadap kebebasan pers akan dibenahi. 

"Itu nanti diperbaiki. Pokoknya gini, kita memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membahas dan tidak boleh pengekangan terhadap kebebasan pers," kata dia. (Tempo)

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda