kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Kartu Prakerja, DPR: Jangan Jadi Proyek dan Tinjau Ulang Pelatihan!

Kartu Prakerja, DPR: Jangan Jadi Proyek dan Tinjau Ulang Pelatihan!

Sabtu, 18 April 2020 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Anggota Fraksi PPP DPR RI Anas Tahir menyoroti program Kartu Prakerja yang dianggarkan pemerintah sebesar Rp20 triliun termasuk untuk biaya untuk pelatihan.

Anas menilai penunjukkan penyelenggara pelatihan online untuk pemilik Kartu Prakerja (KPA) harus sesuai dengan prosedur yang berlaku dan ditangani oleh Kementerian Ketenagakerjaan guna menghindari potensi penyalahgunaan prosedur di kemudian mari.

Untuk mencegah penyalahgunaan prosedur di kemudian hari, dia minta pemerintah untuk memastikan bahwa anggaran Rp20 triliun dari Kartu Prakerja benar-benar efektif tersalurkan dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan saat ini.

“Jangan KPA hanya menjadi proyek kurang berguna dan terksesan menghambur-hamburkan dana," ujar Anas, Jumat (17/4/2020).

Dia menilai pembelokan program Kartu Prakerja menjadi program penanganan pengangguran pada masa wabah sebenarnya langkah yang keliru. Oleh sebab itu, dia meminta kebijakan pemerintah yang mengakomodir penyedia jasa pelatihan online untuk program Kartu Prakerja itu ditinjau ulang.

Anggota Komisi DPR bidang ketenagakerjaan itu mengatakan pengangguran yang disasar KPA akibat dampak wabah Covid-19 bukanlah pencari kerja baru, melainkan pekerja terlatih yang dipecat karena perusahaan sudah tak mungkin berjalan saat ini.

Dia menilai bukan pelatihan keterampilan yang mereka butuhkan saat ini, melainkan lowongan kerja baru yang sesuai dengan keahlian mereka. Menurut Anas, cara untuk mengatasi pengangguran adalah dengan memulihkan perekonomian, sehingga perusahaan dapat berjalan dan para pengangguran bisa kembali bekerja.

"Pelatihan itu menghabiskan anggaran Rp5,6 triliun dari Rp20 triliun dana yang dianggarkan untuk program Kartu Prakerja. Saat ini banyak pengangguran lebih disebabkan karena lesunya sektor industri, bukan pekerja baru yang membutuhkan pelatihan. Mereka pekerja lama membutuhkan bantuan tunai untuk bertahan hidup," ujarnya.

Anas menegaskan bahwa di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), pemerintah semestinya fokus menjaga konsumsi masyarakat. Sebab, berdasarkan struktur perekonomian Indonesia, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi domestik.

Sepanjang 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga menjadi sumber pertumbuhan tertinggi, yaitu mencapai 2,73 persen. Berkaca dari data tersebut, salah satu cara menjaga agar konsumsi rumah tangga tidak goyah adalah dengan memberikan bantuan-bantuan tunai.

"Artinya, pemerintah seharusnya bukan memberikan bantuan yang sifatnya pelatihan seperti Kartu Pra-kerja," ujar Anas.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda