Kebijakan Jokowi Di Natuna Belum Bisa Redam China
Font: Ukuran: - +
Sumber : Dok. cnnindonesia.com
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kebijakan militer Presiden Joko Widodo dalam menegaskan kedaulatan di Laut Natuna Utara selama ini dinilai tak berpengaruh dalam mencegah agresivitas China yang kerap mengklaim perairan itu.
Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana, menuturkan bahwa selama ini, pemerintahan Jokowi menerapkan tiga langkah dalam merespons intrusi China di Laut Natuna Utara.
Pertama, pengerahan personel militer, jet tempur, hingga kapal perang ke Laut Natuna Utara. Sebagai contoh, pada awal 2020, TNI mengerahkan 4 jet F-16 dan enam kapal perang ke perairan Natuna untuk berpatroli.
Pengerahan itu dilakukan setelah beberapa kapal China ngotot berlayar di perairan tersebut meski telah diusir oleh Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla).
"Secara teori, kebijakan ini bagus untuk konsumsi publik dalam negeri, tetapi nyaris tidak menyelesaikan tantangan strategis yang dihadapi RI dari China di Natuna Utara," kata Evan dalam webinar berjudul Threat Assessment of China's South China Sea Policy pada Rabu (9/6).
Menurut Evan, strategi militer seperti ini tidak efektif apalagi pemerintah hanya menerapkannya saat krisis terjadi. Ia menganggap pengerahan pasukan TNI ke Natuna Utara bersifat sementara dan tidak bisa mencegah krisis yang sama di masa mendatang.
"Selain itu, respons militer Indonesia ini bisa disalahartikan China sebagai tindakan yang berlebihan," tutur Evan.
Evan menuturkan bahwa selain respons militer, pemerintah RI juga kerap melayangkan protes diplomatik kepada Negeri Tirai Bambu sebagai wujud ketidaksukaan Jakarta atas manuver Beijing diNatuna Utara.
Menurut Evan, protes diplomatik seperti ini tetap penting meski tak memberi dampak langsung terhadap masalah. Dengan protes diplomatik, posisi Indonesia dalam mempertahankan wilayah tersebut sebagai bagian kedaulatan terekam dan semakin kuat.
Selain itu, Evan juga menyinggung langkah pemerintah Indonesia yang ingin memperbanyak nelayannya melaut di perairan terluar RI tersebut. Ia menganggap kebijakan itu bisa menegaskan klaim Indonesia terhadap Natuna Utara.
"Namun masalahnya adalah pengerahan nelayan-nelayan dari pulau lain, seperti Pulau Jawa, ke Natuna hanya akan memperkecil peluang nelayan lokal sehingga mereka bisa merasa tersudut. Selain itu, Indonesia juga tidak punya cukup anggaran untuk bisa membiayai para nelayan Pulau Jawa untuk bolak-balik melaut di Natuna Utara," ujar Evan.
Lebih lanjut, Evan menganggap bahwa respons pemerintah Indonesia sejauh ini tidak cukup kuat untuk menghadapi tantangan China di Laut China Selatan, terutama Natuna Utara.
Meski Kementerian Luar Negeri RI berkeras bahwa Jakarta tak memiliki sengketa wilayah di Laut China Selatan, Evan menganggap Indonesia tetap terancam dengan manuver Beijing di Natuna Utara.
Karena itu, menurutnya, pemerintah Indonesia harus mulai memperluas opsi strategis dalam menangani China, terutama terkait klaimnya atas Laut Natuna Utara.
"Indonesia harus segera mempertimbangkan opsi strategis yang lebih luas, tidak hanya melalui diplomatik, tapi juga posisi strategisnya, termasuk menyelaraskan posisi strategis seluruh instrumen negara terkait saat krisis terjadi," ujar Evan.
(rds/has)