Keterlibatan TNI Tangani Terorisme Tertuang di Perpres Ancaman bagi Demokrasi dan HAM
Font: Ukuran: - +
[Anggota Komnas HAM Choirul Anam, Foto: indopolitika]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komnas HAM beberapa waktu lalu telah mengirimkan surat kepada DPR dan Presiden terkait Perpres pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme, salah satu substansi dari surat tersebut ialah konteks kerangka hukumnya yang tidak konsisten”, ungkap Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, M. Choirul Anam ketika menjadi narasumber dalam diskusi online dengan tema “Problematika Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme” yang diselenggarakan oleh Imparsial, pada Rabu (15/8/2020).
Anam menjelaskan bahwa Perpres tersebut bertentangan dengan Undang-undang pokoknya, yakni UU No.5 tahun 2018, UU No.3 tahun 2004 terkait TNI, dan Undang-undang intelijen. Rekomendasi Komnas HAM adalah agar Presiden tidak menandatangani Perpres pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme, dan Komnas HAM mendorong pembahasan mengenai Undang-undang perbantuan karena lebih strategis dibandingkan dengan Perpres, dan prosesnya harus melibatkan masyarakat.
“Masalah yang paling pokok ada di Bab Dua (2), detail dari bab tersebut disebutkan bahwa pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sifatnya adalah permanen, padahal kita memintanya hanya dalam konteks perbantuan. Dan sifat permanen ini dapat merusak banyak hal, seperti yang diatur dalam Bab 3 Pasal 4 terkait operasi intelijen itu disebutkan kata penyelidikan. Kata tersebut memiliki term sendiri dalam pendekatan hukum, bukan dalam konteks operasi intelijen,” ucap Anam.
Karena sifatnya permanen, lanjut Anam ada aturan kerja untuk mengontrol masyarakat dengan satu operasi inteligen. Dan yang dikhawatirkan adalah hal ini akan meningkatkan nuansa orde baru, serta menyeret militer ketindakan yang tidak profesional. Sementara itu, Komnas HAM berharap bahwa militer akan semakin profesional, bersahabat dengan demokrasi dan HAM.
“Kewenangan yang diatur pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 memiliki ancaman terhadap kehidupan demokrasi dan HAM. Misalnya, dalam Perpres tersebut diatur adanya tindakan memonitoring informasi publik, komunikasi, serta sosial media. Hal ini mengancam kehidupan kebebasan berekspresi kita. Oleh karena itu, argumentasi pokok Komnas HAM salah satunya terkait tata kelola hukum yang bertentangan, dan kedua adalah ancaman serius bagi HAM,” kata Anam.
Salah satu hal yang turut dibahas dalam surat Komnas HAM ialah terkait pekerjaan yang tidak boleh dilakukan oleh TNI, seperti penggunaan dana. Apabila merujuk pada Undang-undang No. 3 tahun 2004 soal TNI, seluruh anggaran yang digunakan oleh TNI adalah berasal dari APBN. Sedangkan dalam Perpres pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme terdapat berbagai sumber dana, tidak hanya APBN.
Diskusi daring kali ini turut menghadirkan beberapa narasumber lain, yakni Laksamana Muda TNI (Purn.) Soleman Ponto, Kepala PSKP UGM Najib Azca, dan Direktur Imparsial Al Araf. Soleman Ponto menyampaikan beberapa poin penting dari Perpres pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme, salah satunya ialah dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
“Kalau isi Perpres tersebut tentang penegakkan hukum atau berada di dalam criminal justice system. Hal ini adalah tugas Polri, bukan TNI. Karena, TNI bukan ahlinya penegak hukum, maka dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. Sehingga, TNI akan dituduh melakukan pelanggaran HAM. Sesuai yang diatur dalam Undang-undang 39 tahun 1999,”ujar Ponto [KomnasHAM].