Koalisi Masyarakat Sipil Minta Kasus Pencemaran Nama Baik Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti Dihentikan
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi menyatakan bahwa penanganan kasus pencemaran nama baik yang melibatkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, terhadap dua aktivis, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, diduga mengandung kekeliruan.
Menurut Andi Muhammad Rezaldy, Kepala Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, kasus tersebut tampak dipaksakan karena mempertanyakan kritik dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).
Andi mengatakan, bahwa tindakan yang dilakukan oleh Fatia dan Haris tidak dapat dipidanakan karena masih merupakan bentuk kritik yang sah terhadap pejabat publik dan sekaligus merupakan bagian dari partisipasi publik dalam rangka pengawasan pemerintahan. Ia juga menilai bahwa penyidik dari Polda Metro Jaya dan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah keliru dalam menangani kasus ini.
"Kami menilai, Penyidik dari Polda Metro Jaya dan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah keliru dalam kasus ini. Tindakan Fatia dan Haris tidak dapat dipidanakan karena masih tergolong kritik yang sah terhadap pejabat publik, sekaligus bentuk partisipasi publik dalam rangka pengawasan pemerintahan," kata Andi dalam keterangan tertulis yang diterima DIALEKSIS.COM, Senin (6/3/2023).
Aktivis HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dianggap dikriminalisasi atas kritik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan. Kasus ini menuai kontroversi karena diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 44 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, menilai kasus ini seharusnya tidak dilanjutkan jika Polri dan kejaksaan tunduk pada Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE.
Isinya adalah “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Kemudian ada Bab VI Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan, apabila tindakan yang dilakukan menjadi bagian dari memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, maka penuntut umum harus menutup perkara tersebut demi hukum dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
"Oleh karena itu kami mendesak kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menghentikan perkara ini demi hukum," tutur Andi.
Jika dipaksakan, maka aparat dinilai menjadi aktor dalam menyempitnya ruang kebebasan. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi menganggap kebebasan berekspresi dan berpendapat atau sikap kritis rakyat terhadap pejabat publik tidak boleh dibungkam aparat penegak hukum melalui penerapan pasal-pasal karet.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Jakarta, Amnesty International Indonesia, KontraS, LBH PP Muhammadiyah, ICJR, TATAK, LBH Sulteng, YLBH Sisar Matiti Manokwari, Lokataru Foundation, PAHAM Papua, PBHI, PUSAKA, PAKU ITE, IM57+ Institute, Trend Asia, AJI, LBH Pers, WALHI, LBH Masyarakat, Asian Human Rights Commission/AHRC, dan KIKA dan AJAR.