Komnas HAM Beri Rapor Merah ke Jokowi soal Penyelesaian Kasus HAM
Font: Ukuran: - +
Jumpa pers Komnas HAM (Yulida/detikcom)
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komnas HAM memberikan rapor merah terhadap empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kasus penyelesaian HAM berat. Pemberian rapor merah itu dilakukan karena belum ada kemajuan dalam penyelesaian kasus HAM berat.
"Nilai merah untuk kasus yang HAM berat. Itu yang paling parah sama sekali tidak ada pergerakan, nggak ada kemajuan," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/10/2018).
Selain itu, Komnas HAM menambah tiga berkas pelanggaran HAM berat dari Aceh, yakni kasus Jambu Kepok, kasus Simpang KKA, dan kasus Rumah Gedong yang diserahkan ke Jaksa Agung pada 2017-2018. Namun, dari rentetan itu, belum ada yang diselesaikan, sehingga Komnas HAM memberi nilai 0.
"Sampai saat ini belum ada langkah konkret dari Jaksa Agung untuk menindaklanjutinya ke tahap penyidikan dan penuntutan sebagaimana diamanatkan di UU nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan," ujar Ahmad.
Selain itu, Komnas HAM mencatat penanganan konflik sumber daya alam (SDA), seperti kasus perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Namun, seiring dengan waktu, ada pengaduan masyarakat terkait dengan pembangunan infrastruktur.
Ahmad mengatakan Komnas HAM telah memberikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada Jaksa Agung sejak awal 2002. Adapun kasus yang diserahkan di antaranya peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II tahun 1998, peristiwa Talangsan tahun 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.
Komnas HAM memberikan nilai 40 untuk isu penyelesaian konflik agraria bagi pemerintah. Meski begitu, Komnas HAM menghargai upaya pemerintah mengembangkan program reforma agraria dan diaturnya Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria.
"Masih ada tindakan kriminalisasi kepada warga yang melakukan upaya untuk memperoleh hak atas tanah, termasuk anggota masyarakat hukum adat. Komnas HAM menyayangkan tidak diaturnya pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria dalam perpres tersebut," kata Ahmad.
Ketiga, catatan Komnas HAM menyoroti kasus intoleransi dan pelanggaran atas hak kebebasan berekspresi. Ia mencontohkan adanya kasus penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di NTB, kasus persekusi pada ormas atau kelompok massa, seperti yang dialami aktivis Neno Warisman di Riau.
"Tindakan persekusi yang dilakukan oleh berbagai ormas atau kelompok massa. Tindakan persekusi tersebut terjadi karena dilatarbelakangi adanya perbedaan pandangan. Media sosial digunakan sebagai sarana yang ampuh untuk melakukan mobilisasi massa untuk melakukan persekusi," kata Ahmad.
Menurutnya, pemerintah masih harus menyelesaikan beberapa PR hingga beberapa bulan ke depan. Meski begitu, Komnas HAM mencatat beberapa kemajuan di pemerintahan Jokowi-JK di bidang pendidikan, kesehatan, dan restitusi hak atas wilayah adat.
"Pekerjaan rumah yang harus dilakukan memang masih cukup banyak oleh pemerintahan Jokowi-JK dengan waktu yang hanya tinggal beberapa bulan lagi. Pemerintah seharusnya menetapkan skala prioritas dalam penyelesaiannya. Hal ini perlu dilakukan sebagai wujud pelaksanaan amanah dari konstitusi UUD 1945," kata Ahmad. detik.com