Kontras Sebut Sepanjang Juni 2018-Mei 2019 Terdapat 423 penembakan oleh Polri
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Penggunaan senjata api yang diduga tidak sesuai prosedur merupakan peristiwa yang paling dominan terjadi sepanjang 2018-2019.
Demikian temuan Kontras yang diungkapkan dalam konferensi pers bertajuk "Netralitas, Diskresi dan Kultur Kekerasan Masih Menjadi Tantangan Polri" di kantornya, Jakarta, Senin (1/7/2019).
Peneliti Kontras Rivanlee Anandar mengatakan, sejak Juni 2018 hingga Mei 2019 timnya menemukan 423 peristiwa penembakan oleh personel Polri.
"Satu tahun Kontras menemukan ada 423 peristiwa penembakan dan 435 jiwa luka-luka, 229 tewas," kata Rivanlee.
Peristiwa penembakan itu paling banyak terjadi pada pelaku kriminal. Namun Kontras belum dapat memastikan apakah penembakan itu dilakukan sesuai prosedur atau tidak.
"Apakah itu seimbang dengan tindakan yang dilakukan, atau kondisi dia di lapangan? Itu yang sulit sekali kita temukan karena beberapa peristiwa itu berujung pada kematian, atau korban (pelaku kriminal) merasa ditekan sehingga tidak mau mengatakannya sejujurnya," ujar Rivanlee.
Rivanlee menambahkan, berdasarkan penelitiannya, ada dua alasan polisi menembak pelaku kriminal. Pertama, pelaku dianggap melawan aparat. Kedua, pelaku yang sudah ditangkap melarikan diri.
"Kedua pola yang kita temukan adalah korban kabur dari kejaran seperti tadi kasus Ridwan di Sigi juga mendapat kan penangkapan lalu kabur," tutur dia.
Akuntabilitas penggunaan kekuatan dan senjata, menurut Kontras, menjadi persoalan penting. Pada prinsipnya, kepolisian tidak bisa semena-mena dalam menggunakan senjata api.
Regulasi penggunaan senjata api tertuang pada Peraturan Kapolri nomor 1 tahun 2009 tentang Standard dan Praktik Hak Asasi Manusia untuk Polisi.
"Semua insiden penggunaan kekuatan atau senjata api harus dilaporkan dan ditinjau oleh pejabat tinggi. Pejabat tinggi harus bertanggung jawab atas tindakan polisi dibawah komandonya jika tahu tentang pelanggaran, tetapi gagal mengambil tindakan nyata," ujar dia. (imd/kompas)