KPK Terbitkan SE Penggunaan DTKS untuk Salurkan Bansos
Font: Ukuran: - +
Ketua KPK Firli Bahuri (kiri). [Foto: Lamhot Aritonang/detikcom]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Edaran nomor 11 Tahun 2020, tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial kepada masyarakat dalam upaya mengatasi dampak pandemi global Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
”DTKS yang dikelola oleh Kementerian Sosial merupakan basis data yang selama ini digunakan untuk pemberian bantuan sosial kepada masyarakat secara nasional. DTKS senantiasa mengalami perbaikan”, kata Ketua KPK Firli Bahuri, di Jakarta, Rabu (22/4/2020).
Alasan pertama, Firli menjelaskan, melalui pelaksanaan rencana aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK), DTKS telah dipadankan dengan data kependudukan di Direktorat Jenderal Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Sehingga penerima bantuan pada DTKS diyakini keberadaannya berdasarkan NIK,” jelas Firli.
Ditambahkannya, alasan lain penggunaan DTKS adalah, perbaikan terkait ketepatan status penerima bantuan dilakukan secara berkala dengan bantuan pendataan oleh pemerintah daerah dan prosedur verifikasi validasi (verivali), sehingga diyakini penerima telah tepat sasaran.
KPK menyadari di tengah upaya peningkatan pemberian bantuan sosial baik yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, keterandalan data sebagai dasar pemberian bantuan sangat penting.
Karenanya, KPK mengkoordinasikan pendataan oleh kementerian/lembaga dan pemda agar jaring pengaman sosial berupa bantuan sosial baik bantuan yang berbentuk tunai, barang maupun bentuk lainnya bisa tepat sasaran.
Terutama mengingat besarnya alokasi dana yang disiapkan pemerintah. Dari tambahan belanja pemerintah pusat pada APBN 2020 sebesar Rp 405,1 Triliun, sebesar Rp 110 Triliun atau 27 persen akan dialokasikan untuk jaring pengaman sosial, termasuk di dalamnya dialokasikan untuk bansos kepada masyarakat yang terdampak covid-19.
Demikian juga dari hasil refocusing kegiatan dan realokasi anggaran pemda per 16 April 2020, total anggaran yang direalokasikan yaitu sebesar Rp 56,57 Triliun atau sebesar 5,13 persen dari total APBD 2020 yaitu Rp 1.102 Triliun.
Dari Rp56,57 Triliun tersebut sebesar Rp17,5 Triliun atau sekitar 31 persen dialokasikan untuk belanja hibah atau bansos dalam upaya mengatasi dampak pandemik Covid-19 di daerah.
Melalui SE yang dikeluarkan 22 April 2020 dan ditujukan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 baik di tingkat nasional maupun daerah, dan pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah tersebut, KPK merekomendasikan 5 (lima) hal agar pendataan dan penyaluran bansos tepat sasaran.
Pertama, kementerian/lembaga dan pemda dapat melakukan pendataan di lapangan, namun tetap merujuk kepada DTKS. Jika ditemukan ketidaksesuaian, bantuan tetap dapat diberikan dan data penerima bantuan baru tersebut harus dilaporkan kepada Dinas Sosial atau Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin) Kementerian Sosial untuk diusulkan masuk ke dalam DTKS sesuai peraturan yang berlaku.
Kedua, demikian sebaliknya, jika penerima bantuan terdaftar pada DTKS namun fakta di lapangan tidak memenuhi syarat sebagai penerima bantuan, maka harus dilaporkan ke Dinsos/Pusdatin untuk perbaikan DTKS.
Ketiga, untuk memastikan data valid maka data penerima bansos dari program-program lainnya atau data hasil pengumpulan di lapangan agar dipadankan data NIKnya dengan data Dinas Dukcapil setempat.
Keempat, kementerian/lembaga dan pemda menjamin keterbukaan akses data tentang penerima bantuan, realisasi bantuan dan anggaran yang tersedia kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.
“Dan kelima, KPK mendorong pelibatan dan peningkatan peran serta masyarakat untuk mengawasi. Untuk itu, kementerian/lembaga dan pemda perlu menyediakan sarana layanan pengaduan masyarakat yang mudah, murah dan dapat ditindaklanjuti segera,” ujar Firli.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK bertugas antara lain melakukan tindakan-tindakan pencegahan, koordinasi, dan monitoring sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi.