DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melalui Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 memastikan kesiapan respons cepat terhadap laporan anak korban jaringan terorisme. Layanan ini berjejaring dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di 34 provinsi dan 389 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Plt. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Ratna Susianawati, menegaskan bahwa keterlibatan anak dalam jaringan terorisme merupakan isu lintas sektor yang memerlukan kolaborasi erat antar pemangku kepentingan.
“Kemen PPPA melalui Layanan SAPA 129 serta jaringan UPTD PPA di 34 provinsi dan 389 kabupaten/kota telah siap memberikan respon cepat terhadap kasus anak korban jaringan terorisme. Kami terus memperkuat koordinasi dan kapasitas layanan di daerah, termasuk pendampingan dalam proses reintegrasi sosial bagi anak-anak yang direpatriasi,” ujar Ratna dalam Rapat Koordinasi dan Finalisasi Rancangan Peraturan Menteri PPPA tentang Perlindungan Anak dari Jaringan Terorisme di kantor Kemen PPPA, dan dikutip Rabu (8/10/2025).
Ratna menekankan bahwa upaya perlindungan anak dari jaringan terorisme bukanlah tanggung jawab satu pihak semata, melainkan kerja bersama antara pemerintah dan masyarakat.
"Pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat harus terlibat aktif agar anak-anak kita terlindungi dari paparan radikalisme dan kekerasan ekstrem,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret, Kemen PPPA telah menyusun dua dokumen penting yang menjadi lampiran dalam Rancangan Peraturan Menteri, yaitu: Pedoman Mekanisme Koordinasi Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme, dan Pedoman Teknis Perlindungan Anak dari Jaringan Terorisme.
Kedua dokumen tersebut akan menjadi acuan koordinasi antar kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan serta layanan rehabilitasi bagi anak korban jaringan terorisme.
“Kedua dokumen ini juga memperbarui Permen PPPA Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme. Saat ini, keduanya telah memasuki tahap finalisasi dan akan segera melalui proses harmonisasi agar dapat dijadikan acuan koordinasi nasional,” tambah Ratna.
Sinergi Kemen PPPA dan BNPT dalam Perlindungan Anak
Kolaborasi antara Kemen PPPA dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah berjalan sejak 2022 melalui nota kesepahaman tentang sinergisitas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam penanggulangan tindak pidana terorisme. Komitmen tersebut diperkuat kembali pada 2024 dengan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme bagi Perempuan dan Anak.
Sekretaris Utama BNPT, Bangbang Surono, menyatakan dukungan penuh terhadap penyusunan Rancangan Permen PPPA tersebut.
"BNPT berpandangan bahwa pedoman ini sangat penting untuk memperjelas peran dan tanggung jawab para pemangku kepentingan. Dengan adanya Permen ini, diharapkan penanganan anak korban jaringan terorisme dapat lebih terarah dan mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan anak,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa pedoman yang disusun Kemen PPPA sejalan dengan kebijakan nasional BNPT, termasuk implementasi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (RAN PE).
Rapat koordinasi yang digelar secara hybrid ini dihadiri sekitar 90 peserta dari berbagai kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan mitra pembangunan. Turut hadir perwakilan dari Kemenko PMK, Kemenko Polhukam, Kemensos, Kemendagri, Polri, Densus 88, Kemenlu, Kemenag, Kemendikbudristek, Kemenkes, Ditjen Pemasyarakatan, LPSK, KPAI, UNICEF, dan The Habibie Center.
Pemerintah daerah turut berpartisipasi melalui kehadiran Kepala DP3AP2KB Provinsi Jawa Tengah, Kepala DP3AKB Provinsi Jawa Barat, serta perwakilan UPTD PPA Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, dan Provinsi Jawa Tengah. [*]