Pasal Bermasalah di RKUHP, Mengekang Kebebasan Demokrasi, Benarkah?
Font: Ukuran: - +
(merdeka.com/Iqbal Nugroho)
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengkritis beberapa pasal pada Rancangan KUHP. Ada empat pasal yang dituding warisan kolonial yang bertujuan mengekang iklim demokrasi di Indonesia.
Dalam rilisnya, Aliansi Nasional Reformasi KUHP memaparkan, pertama, terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP.
"Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste," tulisnya dalam keterangan pers yang diterima, Kamis (10/6/2021).
Menurut dia, rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda.
Pasal tersebut pun sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006. Rumusan pasal tersebut juga bertentangan dengan Konvenan Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005,
Kemudian, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah yang diatur dalam pasal 240-241 RKUHP. Menurut dia, sepatutnya pasal kolonial ini tidak perlu ada karena tidak sesuai dengan negara demokratis yang merdeka. Pasal tersebut pun sudah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 berdasarkan putusan MK No. 6/PUU-V/2007.
"Jika kita merujuk pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara," ucap dia.
Berikutnya, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara yang diatur dalam pasal 353-354 RKUHP.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP berpendapat Pasal ini berpotensi menjadi Pasal karet dengan potensi pengekangan hak dan kebebasan warga negara yang sangat besar dan juga dapat menjadi jelmaan dari pasal subversif.
Pasal ini, tidak saja kabur dan multitafsir, namun juga sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern.
"Selain itu, hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti lembaga negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik," papar dia.
Selanjutnya, terkait Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi Tanpa izin yang diatur dalam pasal 273 RKUHP.
Menurut dia, Pasal 273 RKUHP ini ada mengatur kegiatan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum dimana pihak penyelenggara harus memohon izin polisi atau pejabat berwenang.
Adanya politik perizinan mencerminkan watak birokrasi pemerintah yang penerapannya sangat bertumpu pada keamanan dan ketertiban umum (rust en orde) yang akrab dipakai pemerintah kolonial Belanda, dan juga sebagai bentuk acuan legal pemerintah atau aparat dalam memantau gerak-gerik masyarakat di Tahun 1960an.
Padahal yang perlu diminta dari masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya dalam berdemonstrasi adalah pemberitahuan, dan bukan izin.
"Pasal 273 RKUHP ini jelas cerminan watak politik perizinan peninggalan kolonial, peninggalan rezim demokrasi terpimpin dan orde baru yang sengaja dipertahankan untuk mengontrol akitivitas rakyatnya sendiri," terang dia.
Pasal Terakhir
Terakhir terkait Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan yang diatur dalam pasal 281 RKUHP.
Pasal 281 huruf b dan c RKUHP sangat bersinggungan dengan kebebasan berpendapat, hak atas informasi dan kemerdekaan Pers.
Pasal 281 huruf b misalnya akan dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial.
Sementara Aliansi tidak sependapat dengan pemerintah berkaitan dengan Pasal 281 huruf c. Pemerintah menilai bahwa Pasal ini ditujukan untuk melarang adanya Trial by Press, karena dengan adanya pemberitaan yang mendahului putusan pengadilan dapat mempengaruhi indepensi hakim.
"Padahal peradilan di Indonesia bersifat terbuka untuk umum sehingga pemberitaan bebas dilakukan, dengan begtu logikanya bukan izin melainkan dalam hal hakim memerintahkan persidangan dilakukan tertutup," ucap dia.
Atas hal tersebut Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyerukan kepada Pemerintah untuk membuka dan meninjau serta membahas ulang draft pembahasan RKUHP secara transparan, dapat diakses oleh publik, dan melibatkan berbagai keahlian dan masyarakat sebagai jaminan bahwa RKUHP adalah proposal produk kebijakan yang demokratis.
"Sebelum dimasukkan kembali dalam Prolegnas tahunan," ujar dia.
Juga yang terpenting adalah menghapus pasal-pasal yang akan membunuh dan mengekang iklim demokrasi di Indonesia.
"Utamanya dalam kondisi Indonesia saat ini," tandas dia [liputan6.com]