Persoalan Pembatasan Peninjauan Kembali Jadi Polemik di Hukum Indonesia
Font: Ukuran: - +
Foto: ilustrasi/net
DIALEKSIS.COM | Nasional - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Aswanto mengatakan, persoalan pembatasan Peninjauan Kembali atau PK akan terus menjadi polemik sepanjang kepastian keadilan belum diterima oleh masyarakat pencari keadilan. Menurut Aswanto, MK sebagai lembaga yang menjaga hak asasi manusia, memastikan adanya jaminan terhadap perlindungan hak asasi di negara yang menganut supremasi hukum.
Menurutnya, masyarakat sangat membutuhkan lembaga yang bisa memberikan perlindungan hukum sekaligus bisa memberikan keadilan hukum. Mahkamah Konstitusi, lanjutnya, mengeluarkan putusan nomor 34/PPU-XI/2013 untuk mempertegas bahwa pengajuan PK pada perkara pidana seharusnya tidak dibatasi.
"Memang dalam memutuskan suatu perkara, setiap hakim tidak saja harus mempertimbangkan perspektif keadilan dari sisi pelaku tetapi juga harus mengakomodir perspektif keadilan bagi korban. Namun yang harus diingat, negara telah menjadi wakil dari korban sehingga putusan hakim harus mempertimbangkan banyak hal," kata Aswanto, dalam diskusi yang bertema 'Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) dalam Perspektif Keadilan dan Hak Asasi Manusia?' Yang dikutip Minggu 26 Juni 2022.
Aswanto menambahkan, "Pengajuan PK boleh dilakukan berkali-kali sepanjang ada temuan bukti baru (novum) yang bisa saja saat hakim menolak PK yang pertama memang belum ditemukan novum atau novum muncul belakangan usai hakim menolak PK yang pertama," ujar Aswanto.
PK Dinilai Tidak Perlu Dibatasi
Sedangkan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Judhariksawan mengatakan, ada dua doktrin paradoks yang bisa dijadikan rujukan jika persoalan pengajuan PK didebatkan dengan beragam argumentasi. Jika di ranah finalitas pengajuan PK harus bersandar kepada adanya kepastian hukum mengingat setiap perkara harus ada akhirnya atau azas litis finiri oportet.
"Harus diakui jika kita merujuk doktrin falibitas, hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan sehingga terhadap semua vonis yang dijatuhkan masih bisa dilakukan langkah korektif," ujarnya.
Judhariksawan mengatakan, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam artikel 14 ayat 6 disebutkan menjadi hak setiap terpidana untuk medapatkan keadilan yang hakiki. "Sehingga keputusan pengadilan tertinggi sekalipun bisa dilakukan langkah koreksi," ujar Judhariksawan dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, Direktur Nusakom Pratama Institute yang juga pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia Ari Junaedi, sempat menyinggung banyaknya pencari keadilan gagal menggapai keadilan meski memiliki fakta baru (novum) lantaran harus kandas dengan aturan yang membelenggu. Termasuk di dalamnya ada unsur kepentingan politik dalam pembatasan upaya PK.
"Menurut saya sebaiknya PK ini memang tidak perlu dibatasi dengan alasan setiap tersangka perlu mendapat keadilan seadil-adilnya. Catatannya adalah dibuat kriteria novum dalam perkara tersebut," ujar Ari Junaedi [viva.co.id].