Pria Papua Gugat UU Perkawinan Karena Gagal Nikahi Wanita Islam, Begini Respon MUI
Font: Ukuran: - +
Foto: Ilustrasi. [Google]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi diterimanya judicial review yang dilayangkan oleh pria asal Papua, bernama E. Ramos Petege, terhadap Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Gugatan yang dilayangkan Ramos Petege ini karena dirinya merasa dirugikan atas pemberlakuan UU tersebut setelah gagal menikah dengan pasangannya yang beragama Islam.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Amirsyah Tambunan menilai, gugatan yang dilayangkan oleh Ramos Petege ke MK adalah hak konstitusional bagi setiap warga negara.
Namun, Buya Amirsyah mengatakan, dirinya juga memiliki hak konstitusi untuk menolak uji materil terhadap Undang-undang tersebut. Menurut Amirsyah nikah beda agama bertentangan dengan konsitusi karena adanya jaminan, kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
“Apa yang disampaikan pria bernama E. Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua melayangkan uji materi (judicial review) terhadap Undang Undang No.16 Tahun 19 merupakan hak konstitusi sebagai warga negara,” kata Amirsyah, sebagaimana dilansir laman MUI, Rabu (10/2/2022).
Buya Amirsyah mengungkapkan, secara yuridis, berdasarkan Undang Undang No.1 Tahun 1974 sebagaimana diubah menjadi Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah ditegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
Oleh karena itu, kata Buya Amirsyah, tujuan membentuk keluarga atau jalinan rumah tangga antara pasangan suami istri yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana agamanya.
Selain itu, Buya Amirsyah mengatakan, perkawinan sesuai dengan falsafah Pancasila bercita-cita untuk pembinaan rumah tangga yang tenang, bahagia, dan kasih sayang atau dalam Islam dikenal sebagai sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Sementara itu, dia menilai, perbedaan agama dengan pasangan yang beragama Muslim dan Non Muslim hal itu jelas bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan.
“Karena itu fakta yang terjadi, ketika pernikahan beda agama antara mempelai pria dan wanita tidak berlangsung lama. Karena salah satu fakta bahwa berbeda keyakinan membuat gagalnya rumah tangga,” ungkapnya.
Dengan demikian, Buya Amirsyah menilai, sudah tepat adanya aturan syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam UU ini dikatakan bahwa suatu perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurutnya, hal itu sangat diperlukan karena pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
“Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan,” ungkapnya.
Buya Amirsyah juga mengungkapkan dalam hukum Agama Islam sesuai aturan Alquran, ia mengutip Surat Al-Baqarah ayat 221 sebagai salah satu dasarnya.
“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman,” arti surat QS Al-Baqarah ayat 221.
وَلَا تَن’كِحُوا ال’…ُش’رِكٰتِ حَت‘ٰى يُؤ’…ِن‘َ – وَلَاَ…َةٌ …‘ُؤ’…ِنَةٌ خَي’رٌ …‘ِن’ …‘ُش’رِكَةٍ و‘َلَو’ اَع’جَبَت’كُ…’ ۚ وَلَا تُن’كِحُوا ال’…ُش’رِكِي’نَ حَت‘ٰى يُؤ’…ِنُو’ا – وَلَعَب’دٌ …‘ُؤ’…ِنٌ خَي’رٌ …ِ‘ن’ …‘ُش’رِكٍ و‘َلَو’ اَع’جَبَكُ…’ – اُولٰۤىِٕكَ يَد’عُو’نَ اِلَى الن‘َارِ — وَالل‘ٰهُ يَد’عُو’“ا اِلَى ال’جَن‘َةِ وَال’…َغ’فِرَةِ بِاِذ’نِه—ۚ وَيُبَي‘ِنُ اٰيٰتِه— لِلن‘َاسِ لَعَل‘َهُ…’ يَتَذَك‘َرُو’نَ —
Terjemahan
Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.
Buya Amirsyah menjelaskan, ayat ini jelas melarang pasangan suami-istri menikahi beda agama, baik wanita non Muslim atau sebaliknya laki-laki non Muslim.
“Karena pernikahan itu merupakan bagian dari ibadah dalam ajaran Islam,” tutupnya. [Sumber : mui.or.id]