DIALEKSIS.COM | Aceh - Gagasan membangun ketahanan pangan berbasis pesantren muncul sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi tantangan sosial dan ekonomi di Aceh. Wakil Rektor I Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Agussabti, M.Si., IPU, menilai pesantren (dayah) tak sekadar lembaga pendidikan agama, tapi juga bisa menjadi pusat pemberdayaan ekonomi dan kemandirian masyarakat.
Menurut Prof Agussabti, konsep ketahanan pangan ini mencakup pengembangan sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan yang dikelola langsung oleh pesantren, dengan keterlibatan aktif para santri dan alumni pesantren.
“Tujuannya bukan hanya untuk swasembada pangan, tapi lebih jauh lagi untuk membangun kedaulatan ekonomi pesantren dan memperkuat kapasitas keilmuan serta keahlian pemuda-pemudi di lingkungan dayah,” kata Agussabti kepada Dialeksis, Jumat (04/07/2025).
Model ini, lanjutnya, menempatkan pesantren sebagai subjek ekonomi, bukan sekadar objek pembangunan. Ia menekankan, kebutuhan akan ketahanan pangan harus disesuaikan dengan karakter masing - masing pesantren. Artinya, tak ada satu pola tunggal yang bisa diterapkan merata di seluruh wilayah Aceh.
“Setiap pesantren punya kebutuhan dan potensi berbeda. Maka pendekatannya harus berbasis lokalitas, bukan model sentralistik,” ujar Agussabti Ketua Forum WR I PTN BKS Barat.
Gagasan ini juga membawa dimensi sosial yang tak kalah penting. Jika berhasil, ia percaya, konsep ini akan mampu menekan laju kriminalitas sosial di kalangan muda. Keterlibatan santri dan alumni dalam aktivitas ekonomi produktif diyakini dapat memutus mata rantai kemiskinan yang kerap menjadi pemicu kejahatan sosial.
“Kita butuh ‘sarjana penggerak’ dari kampus-kampus yang mau turun tangan langsung ke pesantren. Mereka bisa menjembatani kebutuhan ilmu dan praktik di lapangan,” ucap penceramah ini.
Agussabti menyarankan program ini dimulai dalam bentuk pilot project di empat wilayah strategis di Aceh pesisir timur, barat selatan, serta kawasan tengah dan tenggara. Setiap wilayah akan dikembangkan sesuai dengan kekhasan ekologisnya wilayah pesisir untuk perikanan, daerah tengah untuk pertanian dan hortikultura, serta wilayah selatan untuk perkebunan.
Selain berbasis potensi wilayah, program ini juga mendorong kolaborasi antarpihak pesantren, universitas, pemerintah daerah, dan pelaku usaha. Bagi Agussabti, kunci keberhasilan terletak pada sinergi yang berjalan seimbang antara teori dan praktik, serta antara niat baik dan kebijakan konkret.
“Ini bukan sekadar proyek. Ini sebuah gerakan untuk menciptakan kemandirian yang lahir dari bawah, dari pesantren, dan untuk masyarakat. Jika berhasil di Aceh, model ini bisa direplikasi ke daerah lain,” pungkasnya.