Kamis, 21 Agustus 2025
Beranda / Berita / Nasional / Prof Didin: Indonesia Banyak Capaian Positif, tapi PR Pemerintah Masih Menumpuk

Prof Didin: Indonesia Banyak Capaian Positif, tapi PR Pemerintah Masih Menumpuk

Rabu, 20 Agustus 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO), Prof Didin S. Damanhuri. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO), Prof Didin S. Damanhuri, menilai usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia menyimpan dua sisi: pencapaian positif yang patut disyukuri, sekaligus pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan pemerintah.

“Indonesia ini secara umur memang sudah tua. Namun dalam perspektif negara matang secara sosial politik, kita memang kalah dari Korea Selatan, tapi masih mampu mengejar Amerika maupun Eropa,” kata Didin dalam Forum Insan Cita dan Indef, dikutip Selasa, 19 Agustus 2025.

Didin membandingkan perjalanan bangsa. Amerika Serikat, kata dia, butuh dua abad sejak perang saudara hingga menjadi negara adidaya. Eropa pun menempuh jalan panjang sejak zaman renaisans menuju negara industri maju. Sementara Korea Selatan hanya butuh sekitar 75 tahun, dari era otoriter Park Chung-Hee hingga demokratisasi pada masa Kim Young-sam.

Meski begitu, ia menekankan ada banyak capaian yang patut diapresiasi Indonesia. Selama delapan dekade, bangsa ini berhasil menghindari perpecahan seperti yang pernah diramalkan dalam sebuah seminar di Paris tentang rapuhnya negara berbentuk kekaisaran. Pertumbuhan ekonomi juga tercermin dari GDP per kapita yang naik 700 persen sejak pembangunan terencana awal 1970-an. Infrastruktur perkotaan berkembang pesat, pengendalian jumlah penduduk lebih baik, dan angka buta huruf produktif turun dari 40 persen menjadi hanya 1,1 persen.

Selain itu, Indonesia hampir terbebas dari penyakit menular mematikan, angka kelaparan yang berujung kematian sangat minim, dan harapan hidup melonjak dari 50 tahun menjadi sekitar 70 tahun. Kelas menengah, meski sempat menurun pada era Jokowi, masih bertahan di angka 45 persen. Didin menyebut kelompok ini sebagai faktor dinamis yang mendorong produktivitas ekonomi nasional.

Pasca-reformasi, ia melanjutkan, konsentrasi dana pembangunan di Jakarta menurun dari 75 persen menjadi 65 persen. Reformasi juga membuka ruang lebih besar bagi penghargaan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan berorganisasi.

Namun, di balik deretan capaian itu, pekerjaan rumah pemerintah masih menumpuk. Didin menyoroti ketimpangan yang makin melebar. Rasio Gini pengeluaran pada 2024 tercatat 0,381, tapi jika dihitung dari pendapatan berada di atas 0,5. “Artinya sangat buruk,” ujarnya.

Ia juga menyinggung tingginya indeks oligarki. Pada 2016, Material Power Index tercatat 650 ribu kali, tapi melonjak menjadi lebih dari 1 juta kali pada 2024. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan oligarki terburuk di dunia.

Tantangan lain, menurutnya, adalah ketergantungan impor kebutuhan pokok serta belum mandirinya pangan, energi, finansial, dan paradigma pembangunan nasional. Otonomi daerah pun belum sepenuhnya menghadirkan kesejahteraan di tingkat lokal.

“Salah satu tantangan besar juga adalah korupsi yang bersifat sistemik dan masif. Pada era Orde Baru, kebocoran anggaran dengan analisis ICOR berada di angka rata-rata 30 persen. Tapi pasca-reformasi justru naik menjadi sekitar 40 persen,” kata Didin.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI