Selasa, 08 April 2025
Beranda / Berita / Nasional / Prof Didin Jelaskan Globalisasi dan Perang Dagang, Simak!

Prof Didin Jelaskan Globalisasi dan Perang Dagang, Simak!

Senin, 07 April 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Prof. DR. Didin S Damanhuri, Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo sekaligus Guru Besar Ekonomi Politik IPB dan Paramadina. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dalam era globalisasi yang semakin dinamis, Indonesia dituntut untuk mampu beradaptasi menghadapi perubahan mendasar dalam tatanan ekonomi dunia. Prof. DR. Didin S Damanhuri, Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo sekaligus Guru Besar Ekonomi Politik IPB dan Paramadina, mengungkapkan pandangannya mengenai kepentingan strategis Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi sekaligus ancaman deglobalisasi dan perang dagang.

Prof. Didin memaparkan bahwa sejak runtuhnya komunisme dan berakhirnya perang dingin awal tahun 80-an, politik dunia memasuki periode Pax - Americana. 

"Semua negara, tanpa kecuali, harus melakukan penyesuaian politik guna mengakomodir dominasi kekuatan militer dan politik Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya dalam G - 7," ujarnya. 

Kondisi ini membawa implikasi ekonomi, di mana sistem neoliberal semakin mendominasi melalui perjanjian internasional, khususnya dalam kerangka World Trade Organization (WTO).

Dalam pandangannya, WTO telah menjadi 'wasit' dalam proses globalisasi melalui penerapan asas the borderless world. Semua negara yang telah meratifikasi peraturan WTO diwajibkan untuk menghapus hambatan perdagangan dengan jadwal pelaksanaan yang ketat serta sanksi berat bagi yang tidak mematuhinya. Prof. Didin menekankan bahwa persaingan bebas antarnegara harus dijalankan dengan kesetaraan level, sesuai dengan prinsip dasar ekonomi modern yang diperkenalkan oleh Adam Smith.

Ketimpangan dalam Globalisasi dan Fenomena Decoupling

Prof. Didin kemudian menyoroti fenomena decoupling suatu kondisi di mana arus uang global melonjak jauh lebih cepat dibandingkan dengan arus barang dan jasa. Sejak awal tahun 80-an, arus dana dari lembaga keuangan, dana pensiun, dan pasar modal memicu fenomena ekonomi gelembung yang akhirnya mengakibatkan ketidakseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil. 

"Kita melihat arus uang yang mencapai triliunan dolar tiap tahunnya, sementara perdagangan barang secara internasional jauh lebih kecil skalanya," ungkapnya.

Ia juga mengulas peran utang luar negeri dalam konteks negara-negara berkembang. Hingga pertengahan dekade 80-an, utang luar negeri masih dipandang sebagai modal pembangunan, namun perubahan paradigma pasca-krisis Asia membuat persepsi ini berubah drastis. Negara-negara yang gagal mengelola utangnya, terutama yang otoriter dan korup, terjebak dalam bentuk baru kolonialisme dan imperialisme.

Dilema Globalisasi dan Imbas Perang Dagang

Dalam perspektif yang lebih luas, globalisasi telah menciptakan keuntungan dan peluang, namun juga menghadirkan tantangan signifikan bagi negara-negara berkembang. Prof. Didin mengingatkan bahwa dalam satu dekade terakhir, kebijakan proteksionisā€”seperti yang diterapkan oleh pemerintahan AS di era Trump telah mengungkapkan sisi negatif globalisasi. Tarif tinggi sebesar 32% yang dikenakan kepada Indonesia merupakan contoh nyata dampak perang dagang yang dapat memperburuk nilai tukar rupiah, memicu PHK masal, mengganggu rantai pasok usaha, hingga menurunkan penerimaan pajak nasional.

Dalam menanggapi ancaman ini, ia menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi mendalam terhadap dampak tarif tinggi tersebut. Langkah-langkah strategis yang disarankan antara lain negosiasi langsung dengan pihak AS, diversifikasi tujuan ekspor, dan peningkatan kerja sama ekonomi melalui ASEAN, OKI, maupun forum BRICS plus. Selain itu, penyesuaian kebijakan fiskal dan upaya mengurangi pengeluaran yang tidak esensial juga dianggap krusial untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Menuju Masa Depan yang Lebih Adaptif

Prof. Didin menggarisbawahi bahwa globalisasi merupakan fenomena yang telah berjalan selama ribuan tahun dan tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, Indonesia harus belajar dari pengalaman masa lalu dan memanfaatkan momentum globalisasi untuk meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia, manajerial, serta reformasi birokrasi demi menciptakan daya saing di pasar global. 

ā€œKita harus siap dengan kemungkinan deglobalisasi dan ancaman perang dagang, sekaligus mengambil hikmah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik yang inklusif,ā€ tutupnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI