Prof Hasbullah: Lebih Baik Divaksin Karena Biaya Perawatan COVID-19 Sangat Tinggi
Font: Ukuran: - +
Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH (Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI) bersama Icha Atmadi, S.T. (Penyintas COVID-19) dalam dialog produktif bertema memaksimalkan pengelolaan kesehatan lewat vaksinasi di Jakarta, Kamis (26/11/2020). [Foto: covid19.go.id]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pemerintah secara serius berupaya memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap dampak pandemi COVID-19. Perlindungan terhadap Kesehatan masyarakat menjadi prioritas, pemerintah terus melakukan upaya Testing, Tracing, dan Treatment, serta edukasi 3M guna menekan penularan COVID-19.
Pemerintah juga menanggung biaya perawatan rumah sakit bagi pasien COVID-19, yang berdasarkan hasil survei menunjukkan rata-rata dikeluarkan biaya perawatan Rp184 juta per orang. Selain biaya yang besar masyarakat yang terdampak COVID-19 tidak bisa bekerja secara produktif sehingga menurunkan pendapatan mereka. Belum lagi kerugian apabila ada warga negara yang meninggal di usia produktif, beban biaya keluarga yang ditinggalkan pasien.
“Apabila kita bisa disipilin menjalankan protokol kesehatan 3M (Memakai masker, Mencuci tangan, dan Menjaga jarak aman), dan pemerintah aktif menjalankan 3T (Tracing, Testing, Treatment), kita dapat menghemat kerugian negara yang lebih besar lagi, kita bisa menghemat sampai Rp500 Triliun, dan menggunakannya untuk membangun ekonomi Indonesia”, terang Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pada acara Dialog Produktif bertema “Memaksimalkan Pengelolaan Kesehatan Lewat Vaksinasi” yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Kamis (26/11/2020).
Tidak hanya merugikan secara ekonomi, namun juga penyakit ini sangat serius seperti diungkap Icha Atmadi ST, salah seorang penyintas COVID-19.
“COVID-19 ini serius sekali. Untuk gejala paling ringan pun bisa terasa sakit baik bagi fisik maupun mental. Apalagi bagi mereka yang mengalami gejala berat, seperti yang dialami ayah saya waktu itu, yang memerlukan alat bantu pernafasan. Perasaan cemas yang dirasakan itu seperti setiap hari akan menghadapi kematian”, terangnya.
Apabila biaya perawatan Icha Atmadi dihitung dan ditanggung secara mandiri, bisa mencapai ratusan juta rupiah selama 45 hari menjalankan perawatan. Hanya saja biaya perawatan Icha dan keluarga serta pasien COVID-19 lainnya saat ini ditanggung negara.
“Saat ini pemerintah memang menanggung biaya rumah sakit melalui anggaran Kementerian Kesehatan. Saya kira kalau dirawat lebih dari 30 hari apalagi harus masuk ICU yang biayanya bisa sehari Rp15 juta per hari, pengeluarannya bisa lebih dari seratus juta. Tapi masyarakat perlu pahami, meski ditanggung negara maka jangan merasa nyaman dan tidak peduli menjalankan protokol Kesehatan”, terang Prof. Hasbullah. “Ingat pada saat dirawat kita menjadi tidak produktif, itu sudah kehilangan banyak pendapatan per harinya. Belum lagi setiap hari pasien merasa khawatir dengan kondisi kesehatannya, ini yang tidak bisa dihitung oleh uang”, tambah Prof. Hasbullah.
Dari pengalaman Icha Atmadi membenarkan pernyataan Prof. Hasbullah tersebut, “Semua pasien COVID-19 baik yang gejalanya ringan, sedang, maupun berat, mengalami titik terendah sehingga membuat kita lebih introspeksi. Ayah saya sampai mendapatkan beberapa suntikan infus, belum lagi ditambahkan alat bantu pernafasan, serta alat pendukung dan tindakan medis lainnya. Jadi benar-benar mencemaskan waktu itu”, terangnya.
Cara terbaik agar masyarakat dan negara tidak merugi lebih besar lagi adalah dengan mencegah, jangan sampai terkena COVID-19. Oleh karena itu Prof. Hasbullah menyarankan untuk disiplin menjalani protokol kesehatan 3M.
“Kalau nanti sudah ada vaksin, kita tambah dengan vaksin. Meskipun harga vaksin belum keluar nilainya, tapi misalnya harganya nanti katakanlah Rp200.000, investasi ini akan memberikan kita peluang lebih aman daripada berisiko besar terinfeksi dan memerlukan pengobatan”, terangnya lebih lanjut.
“Biayanya sangat berat kalau terkena COVID-19, apalagi nanti tidak mau divaksinasi. Hidup bisa tidak nyaman karena risiko mengeluarkan Rp200-300 juta apabila terinfeksi. Vaksin terbukti mampu memberikan ketenangan, pada contohnya kasus penyakit TBC, karena hampir semua orang sudah divaksinasi BCG, kita bisa tenang menjalani kehidupan”, terang Prof. Hasbullah.
Selain itu, dari perspektif agama, Prof. Hasbullah menilai, mencegah penularan sama derajatnya dengan melakukan ibadah, “Menjaga diri dan orang lain di sekitar kita agar tidak tertular COVID-19 adalah ibadah. Saking besarnya ibadah itu sampai naik haji dan sholat jumat berjamaah pun boleh ditinggalkan untuk menghindari penularan lewat kerumunan”, tegas Prof. Hasbullah. “Masyarakat harus berpifikir positif, selektif, dan cerdas dalam menerima informasi, ambil informasi dari sumber resmi dan terpercaya seperti penjelasan pemerintah”, imbuh Prof. Hasbullah.
Cerita Icha Atmadi juga memperkuat penjelasan Prof. Hasbullah. “Protokol kesehatan dalam keluarga kami lebih diperketat setelah sembuh dari COVID-19. Pengalaman yang saya alami pun saya bagikan kepada teman-teman, agar mereka tidak mengalami apa yang saya rasakan”, ujarnya.
“Kita harus menyadari bahwa mencegah penularan COVID-19 sangat besar manfaatnya bagi diri sendiri dan orang lain. Manfaatnya memang tidak kelihatan saat kita belum mengalaminya, sama seperti perumpamaan, kita baru menyadari mahalnya mata kita saat kita sudah tidak bisa melihat lagi. Jadi jangan kita tunggu sampai kita kehilangan penglihatan. Mencegah jauh lebih baik dan itulah amal ibadah kita”, tutup Prof. Hasbullah. (SC)