Rencana Naikkan Iuran BPJS Diprotes, Kemenkeu Jawab Kritikan Warga
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan mendapat kritik pedas. Kritik itu ditujukan langsung kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dalam keterangan tertulisnya, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti mengatakan, Sri Mulyani mendapat kritik dari seorang bernama Edi Mulyadi. Dalam kritiknya, Edi menyinggung Sri Mulyani yang mengingkari sumpah jabatannya.
"Dia menyinggung kebijakan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan menyatakan bahwa Menteri Keuangan seolah-olah mengingkari sumpah jabatan yang mengatasnamakan Tuhan, menafikkan kesetiaan terhadap republik, bahkan menyinggung kapasitas keilmuan Sri Mulyani Indrawati," kata Nufransa dalam keterangan tertulis, Minggu (8/9/2019).
"Hal ini tentu saja harus diluruskan karena Edi Mulyadi tidak mengerti tentang apa yang terjadi sehingga menghakimi tanpa bukti," tambahnya.
Dia menjelaskan, kenaikan iuran ini tidak akan mempengaruhi penduduk miskin dan tidak mampu. Saat ini, sebanyak 96,6 juta penduduk miskin dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah Pusat (APBN) yang disebut dengan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sementara 37,3 juta jiwa lainnya iurannya dibayarkan oleh Pemda (APBD) melalui kepesertaan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah.
"Dengan demikian, ada sekitar 134 juta jiwa yang iurannya dibayarkan oleh APBN dan APBD," ujarnya.
Sementara untuk pekerja penerima upah, baik ASN pusat/daerah, TNI, POLRI maupun pekerja swasta, penyesuaian iuran akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Khusus untuk peserta mandiri Kelas 3 hanya akan naik menjadi sebesar Rp 42 ribu, sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh pemerintah. Bahkan bagi peserta mandiri Kelas 3 yang merasa tidak mampu dengan besaran iuran ini, dapat dimasukkan ke dalam basis data terpadu Kementerian Sosial sehingga berhak untuk masuk PBI yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah.
"Kenaikan Kelas 2 dan Kelas 1 juga dipertimbangkan dalam batas kemampuan bayar masyarakat (ability to pay). Dalam hal ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, bisa saja peserta yang bersangkutan melakukan penurunan kelas, misalnya dari semula Kelas 1 menjadi Kelas 2 atau Kelas 3, atau dari Kelas 2 turun ke Kelas 3," jelasnya.
Kembali, dia mengatakan, sekitar 134 juta jiwa iurannya dibayar APBN dan APBD. Maka dari itu, Nufransa bilang, pendapat Edi yang menyatakan pemerintah abai kepada rakyat harus memberikan bukti yang valid.
"Silakan mendatangi rumah sakit dan bertanya kepada mereka yang telah bertahun-tahun mendapatkan layanan pengobatan secara gratis dengan berbagai sakitnya. Silakan Edi Mulyadi mencari tahu ke Puskesmas di tempat terpencil dan ikut merasakan bagaimana masyarakat pinggiran terbantu dengan program ini," terangnya.
"Janganlah menuduh sebelum melihat bukti dan data. Tuduhan tanpa bukti dan data yang valid layaknya bumerang yang akan kembali mempermalukan saudara Edi. Sangat memperlihatkan kualitas tulisannya yang buruk dan tidak kompeten," ujarnya. (im/detik)