DIALEKSIS.COM | Jakarta - Absennya revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 - 2029 memantik kritik keras. Putra Aceh sekaligus pemerhati pendidikan nasional, Dr. Badruddin, S.Pd.I., M.Pd, melayangkan surat terbuka kepada Ketua Forum Bersama Anggota DPR dan DPD RI asal Aceh (Forbes Aceh).
Dalam surat itu, dosen Universitas PTIQ Jakarta ini menilai ketiadaan revisi UUPA bukan sekadar persoalan teknis legislasi, melainkan tanda lemahnya posisi tawar politik Aceh di Senayan.
Badruddin mengingatkan, UUPA adalah turunan langsung dari MoU Helsinki 2005 fondasi perdamaian dan otonomi khusus Aceh. Ketika revisinya tersingkir dari daftar prioritas, Aceh, menurutnya, kehilangan momentum memperkuat kelembagaan otonomi yang sudah lama stagnan.
“Absennya revisi UUPA berarti kita berhadapan dengan risiko penurunan kualitas otonomi. Ini bukan sekadar regulasi, tapi menyangkut keadilan dan martabat Aceh dalam bingkai NKRI,” ujarnya.
Ia menilai jalur Prolegnas Kumulatif Terbuka tidak cukup realistis tanpa dasar hukum kuat seperti putusan Mahkamah Konstitusi atau kondisi darurat. Satu-satunya peluang, kata dia, adalah inisiatif politik dari wakil-wakil Aceh di Senayan.
“Kalau ini tidak digerakkan, Aceh akan kehilangan momentum penting dalam menata kembali kekhususan daerah,” tegasnya.
Badruddin mendesak Forbes Aceh mengambil peran, dengan tiga langkah utama yakni; bertanggung jawab penuh atas masa depan otonomi Aceh, menggalang konsolidasi politik lintas fraksi dan komisi agar revisi UUPA kembali masuk jalur prioritas, dan membuka ruang transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi.
Ia menutup suratnya dengan ajakan agar Forbes Aceh menunjukkan keberanian politik. “Dengan komitmen, Forbes Aceh bisa memastikan revisi UUPA tidak sekadar wacana, tapi langkah nyata demi Aceh yang adil, bermartabat, dan berdaulat,” pungkasnya.