kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Saksi Prabowo-Sandi : Ada DPT Tidak Wajar Berkode Khusus dan KK Invalid

Saksi Prabowo-Sandi : Ada DPT Tidak Wajar Berkode Khusus dan KK Invalid

Kamis, 20 Juni 2019 14:26 WIB

Font: Ukuran: - +

Idham Amiruddin yang dihadirkan oleh Pemohon memberikan kesaksian sehubungan ditemukannya permasalahan DPT. [Foto: Humas/Ganie]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin menggelar sidang lanjutan dari penanganan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 (PHP Presiden 2019) pada Rabu (19/6/2019).

Sidang ketiga perkara yang diajukan oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno beragendakan mendengar keterangan 15 orang Saksi dan 2 orang Ahli Pemohon. Sidang perkara Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tersebut yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK tersebut dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.

Di awal persidangan, Hakim Konstitusi Saldi Isra memperjelas mengenai bukti-bukti Pemohon yang datang belakangan ke MK.

Saldi menjelaskan bahwa alat-alat bukti yang ada dalam puluhan kotak container tersebut belum disusun dan dilabeli sesuai dengan hukum acara MK. MK pun memberikan waktu kepada Pemohon untuk memperbaiki alat bukti tersebut sampai dengan pukul 12.00 WIB. Terkait batasan waktu tersebut, Bambang Widjojanto selaku kuasa hukum Pemohon menegaskan akan menarik alat bukti jika tidak sempat diperbaiki dalam batas waktu yang diberikan MK.

Pada kesempatan pertama, Pemohon menghadirkan Agus M. Maksum untuk memberikan kesaksian terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berkode khusus dalam jumlah yang tidak wajar. Diakui Agus bahwa sejak Desember 2018, dirinya selaku Ketua Tim Informasi Teknologi Badan Pemenangan Nasional Prabowo – Sandi telah melakukan koordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (Termohon) terkait DPT yang bermasalah tersebut.

"Namun hingga Maret 2019 tidak ditemui titik terang sehingga kami mengajukan laporan resmi pada KPU agar ditindaklanjuti terkait DPT tidak wajar berkode khusus sebanyak 17,5 juta yang terdiri atas Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK) palsu, tanggal lahir yang sama, dan jumlah yang tidak wajar. Menurut kami hal tersebut harusnya diperbaiki, jika tidak maka data tersebut akan rusak data yang sebenarnya dan tidak terpakai," terang Agus dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Wakil Ketua MK Aswanto.


KK Invalid

Dalam menguraikan ketidakwajaran yang ditemukan pihaknya, Agus menyebutkan bahwa DPT tidak wajar tersebut dinilai dalam sisi jumlah tidak wajar dan makna kode khusus tersebut memuat kode khusus, di antaranya angka 0107, 3112, dan 0101. Selain itu, pihaknya pun menemukan adanya KK invalid yang di dalamnya tercantum lebih dari 1.000 nama.

Kasus yang demikian ditemukan pihaknya di daerah Majalengka, Magelang, dan Bogor. Dalam keterangannya, Agus berpedoman pada sistem administrasi kependudukan bahwa enam angka pertama dalam KK menunjukkan kode wilayah, sedangkan enam angka berikutnya menginformasikan tanggal dicatatnya sebuah KK. "Menurut kami, KK itu invalid karena pada enam digit keduanya tidak menunjukkan informasi apa-apa karena ada angka 000000," terang Agus.


NIK Rekayasa dan Pemilih Ganda

Pada kesempatan selanjutnya, Pemohon menghadirkan Idham Amiruddin yang berprofesi sebagai penggiat software dan konsultan analisis database untuk memberikan kesaksian sehubungan ditemukannya permasalahan DPT. Dalam temuan mandirinya, Idham menyimpulkan telah adanya NIK kecamatan siluman, NIK rekayasa serta adanya pemilih ganda dan pemilih di bawah umur yang terjadi dalam data kependudukan di Indonesia.

Di hadapan Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang bertanya, Idham menyampaikan bahwa NIK kecamatan siluman yang dimaksudkannya adalah daerah-daerah yang tidak ada secara realita, tetapi memiliki NIK. Sebagai contoh, ia menemukan data dari 85 kecamatan di Bogor. Padahal, sambung Idham, di Bogor hanya ada 40 kecamatan. "Inilah yang disebut kecamatan siluman," ujar Idham.

Selain itu, Idham pun menemukan adanya NIK rekayasa dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Menurutnya, dalam sebuah NIK, berturut-turut mencakup informasi berupa kode provinsi, kabupaten/kota, tanggal, bulan, dan tahun lahir penduduk. Ia menyebutkan bahwa dalam sebuah NIK rekayasa seluruh elemen datanya seolah-olah benar, namun pada kenyataannya salah.

"Misalnya pada NIK perempuan seharusnya memuat tanggal lahir yang ditambahkan dengan 40, misal tanggal lahirnya 1, maka kode NIK-nya 41. Dan kasus ini terjadi pada tinggi di wilayah Bogor," terang Idham yang berdomisili di Makassar.

Seperti diketahui, pada sidang perdana yang digelar Jumat (14/6/2019) lalu, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selaku Pemohon mendalilkan adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis dalam pelaksanaan Pilpres 2019.

Selain itu, Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan, di antaranya cacat formil persyaratan calon wakil presiden Nomor Urut 01 Ma’aruf Amin yang sejak pencalonan hingga sidang pendahuluan digelar masih berstatus pejabat BUMN. Kemudian, Pemohon juga mendalilkan cacat materiil Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo dan Ma’ruf Amin selaku Pihak Terkait atas penggunaan dana kampanye yang diduga berasal dari sumber fiktif; serta kecurangan lainnya yang telah dilakukan Pihak Terkait dalam Pilpres 2019 yang telah digelar pada 17 April 2019 lalu. (pd/rel)

Keyword:


Editor :
Pondek

riset-JSI
Komentar Anda