Seknas JPPR: Wacana Penundaan Pemilu Bentuk Pencederaan Reformasi
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi Pemilu. (Net)
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menyikapi wacana penundaan Pemilu 2024 yang disuarakan oleh sejumlah para petinggi partai politik.
Terkait hal tersebut, Seknas JPPR mengajak semua elemen masyarakat menimbang kembali pemahaman terhadap masa jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan. Pada hakikatnya pemilu dilakukan 5 tahun sekali, masa jabatan adalah maksimal 2 periode. Hal ini mengacu pada Pasal 7 UUD 1945 dan Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945.
“Potensi perpanjangan masa jabatan presiden merupakan kegagalan proses demokrasi deliberatif di Indonesia. Selain itu JPPR memandang bahwa agenda penundaaan pemilu 2024 adalah bentuk pencederaan proses reformasi 1998,” kata Manajer Pemantauan Seknas JPPR, Aji Pangestu, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Dialeksis.com, Selasa (8/3/2022).
Aji Pangestu menambahkan, sinyalemen penundaan pemilu sebagai potensi pengingkaran konstitusi karena proses yang semata-mata mengedepankan arogansi elit.
“Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Kepentingan hukum harus selalu berada diatas kepentingan politik,” tegasnya.
Lebih lanjut JPPR mengkhawatirkan suara elit partai yang semakin keras dan lobi-lobi politik yang terjadi antar petinggi partai berpotensi menimbulkan persepsi publik yang saling berseberangan dan menimbulkan pro-kontra meruncing dikalangan masyarakat.
Sebagai organisasi yang mengalami proses dialektika tepat menjelang dan pasca reformasi 1998, JPPR sangat menyayangkan apabila penundaan pemilu hanya dilakukan sebagai langkah pragmatis partai politik dalam menyikapi problem internal dan kontestasi regenerasi kepemimpinan.
“Terakhir, JPPR mengajak semua elemen untuk terus mendorong proses penyiapan tahapan pemilu 2024 yakni jadwal tahapan untuk segera ditetapkan sebagai modal penting untuk memulai sirkulasi tahapan demi terwujudnya pemilu yang operasional, efisien, mudah dan taat hukum,” Aji Pangestu.