Skandal Ratna Ancaman Bagi Pemilu dan Demokrasi
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pengamat Pemilu Ray Rangkuti mengatakan, Skandal Ratna Sarumpaet dapat diketegorikan sebagai pelanggaran Pemilu, sehingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat menggunakan kewenangannya untuk mengambil tindakan.
Alasannya, Pertama, mereka bercerita dengan cerita bohong, kedua, cerita bohong itu yang dijadikan dasar untuk membangun citra diri dan untuk menyerang orang lain, ketiga, berita bohong yang disampaikan membuat adanya kegaduhan, dan keempat, yang menceritakan berita bohong adalah orang atau tim resmi yang dikhusus kan untuk kampanye dan terdaftar di Komisi Pemilihan Umum.
Sementara Pakar Pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Mahmud Mulyadi mengatakan, meskipun dalam Skandal Ratna membutuhkan analisis lebih lanjut dan membutuhkan multidisiplin ilmu untuk tindakan secara hukum, tetapi siapa pun yang menciptakan berita bohong dan ikut menyebarkannya harus bertanggung jawab. Ray Rangkuti dan Dr Mahmud Mulyadi menyampaikan hal itu dalam diskusi publik bertema: "Menimbang Skandal Ratna dari Sudut Hukum Pidana dan Pemilu 2019" yang diadakan Tim Pembela Jokowi (TPJ), di Café Dapoer Ciragil, Kamis (11/10) sore.
Lebih lanjut Ray Rangkuti mengatakan, semua orang di Indonesia berkomitmen mengawal Pemilu 2019 menjadi Pemilu yang jujur, adil, damai dan bermartabat. Yang dibutuhkan sekarang adalah, komitmen dan kerja keras Bawaslu dalam mengawal proses demokrasi dengan Pemilu yang jujur dan bermartabat.
Hal ini menjadi penting bagi Bawaslu, karena dalam Skandal Ratna, keterlibatan orang-orang yang ikut menyiarkan "kebohongan Ratna" dengan menggunakan media publik bukan hanya merupakan tindakan yang mengancam terwujudnya asas jujur dan bertanggungjawab dalam Pemilu, tapi sangat dikhawatirkan dapat mengancam terpecah belahnya bangsa. Walaupun Ray sendiri masih meragukan Bawaslu untuk menggunakan kewangannya dalam menangani kasus Ratna. Menurutnya, "Satu-satunya prestasi Bawaslu periode ini adalah, mengembalikan hak politik mantan koruptor untuk menjadi anggota legislatif," ujarnya dengan nada pesimis.
Dr Mahmud Mulyadi dalam diskusi ini lebih banyak memaparkan delik-delik yang bisa dipakai dan berhubungan dengan "Skandal Ratna", antara lain, menurutnya, ada beberapa Pasal dalam Hukum Pidana yang terkait berita bohong, yaitu: Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, Pasal 28 dan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 1 ayat (1), rinci Mahmud, disebutkan: "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingginya sepuluh tahun." Sedangkan ayat (2) disebutkan, "Barang siapa yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun."
Sedangkan dalam Pasal 15: "Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun."
Menurut Mahmud, dalam Pasal 28 UU ITE ditegaskan, orang-orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik juga dapat dihukum pidana. Dan jika informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), mereka bisa dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tetapi yang harus diperhatikan dalam menerapkan sanksi pidana kepada pelaku pembuat dan penyebar berita bohong adalah, unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif dalam satu delik hukum. Ia mencontohkan Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946, unsur Subjektifnya adalah: "dengan sengaja", sedangkan unsur objektifnya adalah "menyiarkan suatu berita"; atau "mengeluarkan pemberitahuan", yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat.
Mahmud juga menyebutkan, bahwa untuk menafsirkan makna kata yang terkandung dalam suatu pasal, dibutuhkan ahli bahasa, yang bisa menjelaskan makna kata yang terdapat dalam pasal itu. Ia mencontohkan kata keonaran, yang menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti kegemparan; kerusuhan; keributan: keonaran itu baru dapat diatasi setelah polisi bertindak. "Untuk menguji tentang masalah itu mengandung keonaran atau tidak, perlu terlibat ahli bahasa," ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Pelaporan dan Advokasi Tim Pembela Jokowi Chairil Syah SH mengatakan, membongkar skandal Ratna bagi TPJ bukanlah sekedar untuk menjerat pembuat kabar bohong dan penyebar kabar bohong, jauh lebih dari itu adalah untuk menyelamatkan Pemilu dan Demokrasi. "Karena itu bangsa ini berkepentingan Skandal Ratna ini dibongkar sampai tuntas," ujar Advokat Senior yang juga aktivis Hak Asasi Manusia itu.
TPJ sendiri, menurut Chairil, memiliki agenda untuk memproses hukum beberapa pihak yang diduga terlibat dalam Skandal Ratna. "Dalam waktu dekat, kita akan memproses secara hukum mereka yang diduga terlibat dalam Skandal Ratna," tambah Chairil tanpa merinci siapa saja yang akan dilaporkannya itu. (jkf)