Soal Perppu KPK, Elit Partai Diminta Stop Sesatkan Publik dan Presiden
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sejumlah tokoh dari lintas profesi dan organisasi meminta para elit partai menyetop upaya menyesatkan publik dan presiden terkait rencana diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Mereka menyatakan, seminggu setelah Presiden Joko Widodo mengundang beberapa tokoh untuk membahas beberapa isu terkini di Istana Negara, Jakarta, Kamis (26/9/2019) lalu, salah satunya membahas rencana Perppu mengenai KPK, gelombang penolakan dari partai-partai politik bermunculan.
Berbagai argumen tidak akurat dikeluarkan, membuat publik tersesat dalam opini dan menyangka bahwa Perppu memang tidak dapat dikeluarkan. Bahkan, sebagian pihak mengatakan, Presiden bisa dijatuhkan apabila mengeluarkan Perppu ini.
"Untuk itu, kami bermaksud meluruskan berbagai pendapat yang keliru tersebut dan terus mendukung Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu. Perlu kami jelaskan kembali, Perppu merupakan hak konstitusional presiden yang jelas dasarnya dalam Pasal 22 UUD," sebut mereka, Jumat (10/4/2019), dalam keterangan resmi yang diterima Dialeksis.com.
Mereka menjelaskan: "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."
Bahkan, Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan penafsiran dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010. MK menyebutkan adanya tiga alasan lahirnya Perppu.
Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalaupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.
Dikeluarkannya Perppu merupakan langkah konstitusional menurut pertimbangan subjektif presiden, sehingga tidak akan dapat digunakan untuk menjatuhkan presiden. Terlebih, dalam sistem presidensil, kedudukan presiden sangat kuat.
"Presiden tak akan jatuh selain karena pelanggaran berat dan pidana yang berat, yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Itu pun melalui proses di Mahkamah Konstitusi," demikian ditegaskan.
Langkah sebagian elite politik untuk mengemukakan isu-isu yang keliru kepada masyarakat merupakan langkah yang menyesatkan masyarakat dan juga seperti upaya memberikan ancaman kepada presiden oleh partai-partai politik.
Karena itu, mereka pun menyatakan sikap. Pertama, mendukung dan mendorong Presiden untuk segera mengeluarkan Perrpu untuk mengoreksi Revisi UU KPK sehingga menguatkan komitmen presiden dalam pemberantasan korupsi.
Kedua, mengingatkan elite politik untuk tidak membawa logika yang menyesatkan dan meresahkan publik serta mengancam Presiden.
Terakhir, mengecam para pembuat undang-undang yang telah melemahkan KPK dengan merevisi UU 30/2002.
Adapun mereka yang mengeluarkan pernyataan ini adalah Emil Salim, Albert Hasibuan, Mochtar Pabottinggi, Erry Riyana Hardjapamekas, Toeti Heraty, Ismid Hadad, Mayling Oey-Gardiner, Taufiequrahman Ruki, Franz Magnis-Suseno, dan Atika Makarim.
Selanjutnya Omi Komaria Nurcholis Madjid, Bivitri Susanti, Tini Hadad, Tri Mumpuni, Slamet Rahardjo Djarto, Christine Hakim, Goenawan Mohamad, Mahfud MD, Nono Makarim, Butet Kertaradjasa, Heny Soepolo, Mochtar Pabottingi, Abdillah Toha, Zumrotin K Susilo, Sudhamek, Teddy Rachmat, Mustofa Bisri, dan Quraish Shihab.
Kemudian ada Sinta Nuriyah, Saparinah Sadli, Natalia Subagyo, Arifin Panigoro, Syafi’i Ma’arif, Harry Tjan Silalahi, Azyumardi Azra, Nyoman Nuarta, Kuntoro Mangkusubroto, Marsilam Simanjuntak, Jajang C. Noer, Alisa Wahid, Clara Juwono, Feri Amsari, Chandra Hamzah, Syamsuddin Haris, Zaenal Arifin Mochtar, Amien Sunaryadi, Tumpak H. Panggabean, Sarwono Kusumaatmadja, Endriartono Sutarto, dan Betti Alisjahbana.(red/rel)