Sri Mulyani Sebut Ada Perbedaan Vaksinasi di Negara Maju dan Berkembang
Font: Ukuran: - +
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, saat ini, dunia masih diliputi dengan ketidakpastian yang tinggi akibat pandemi Covid-19.
Ia mengatakan, pemulihan dari pandemi nampak tidak merata antara negara maju dan berkembang karena akses vaksin yang masih terbatas. “Namun sayangnya vaksinasi tidak merata.
“Kalian semua mengerti bahwa negara maju mana pun lebih dari 80 persen populasinya sudah divaksinasi. Tetapi beberapa bagian dunia dan negara berkembang masih sangat tertinggal atau rendah. Seharusnya secara moral itu tidak benar,” kata Sri Mulyani dalam rangkaian Presidensi G20, Finance and Central Bank Deputies Meeting (FCBD), di Bali, Kamis (9/12/2021).
Sri Mulyani mengatakan, menguatnya kinerja ekonomi global khususnya negara maju yang diikuti dengan naiknya tekanan inflasi juga mendorong perubahan kebijakan yang lebih ketat (tapering) sehingga pemulihan yang tidak merata berpotensi semakin parah.
Sementara itu, pandemi yang berkepanjangan akan menimbulkan scarring effect. Exit strategy yang tepat dan upaya mengatasi masalah scarring effect menjadi prasyarat pemulihan yang berkelanjutan.
Oleh sebab itu, agenda utama presidensi G20 Indonesia sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo mengerucut pada 3 bidang yaitu kesehatan yang inklusif, transformasi digital dan transisi energi. Selain mewujudkan vaksinasi yang merata, presidensi G20 Indonesia diharapkan sukses dalam mempercepat digitalisasi dan mengarahkan koordinasi kebijakan global terkait pembiayaan perubahan iklim.
“Keketuaan Indonesia ini akan menjadi ajang bagi Indonesia menunjukkan perannya dalam memimpin forum global untuk mengatasi berbagai tantangan dan isu di tingkat dunia. Indonesia bertekad untuk mengatasi tantangan global yang masih akan muncul dan mencari solusi terbaik, memastikan bahwa semua negara dapat pulih bersama serta mendorong reformasi kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif pasca pandemi,” tutur dia.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan, agenda prioritas finance track dalam Presidensi G20 relevan dengan tugas BI, yakni kerja sama internasional dalam normalisasi kebijakan moneter, penerapan regulasi di sektor keuangan yang harus memperhatikan kesiapan sektor keuangan, dan digitalisasi sistem pembayaran, termasuk Central Bank Digital Currency (CBDC).
“Pertemuan awal ini berperan penting dalam memastikan keberlanjutan kepemimpinan G20 dalam mendukung pemulihan ekonomi global baik dalam jangka pendek maupun panjang, sejalan dengan tema recover together, recover stronger,” ucap dia.
Dalam Presidensi G20 Indonesia akan melanjutkan beberapa legacy issues, yaitu mengintegrasikan risiko pandemi dan iklim dalam pemantauan risiko global, penguatan Global Financial Safety Net (GFSN), meningkatkan arus modal, melanjutkan inisiatif kesenjangan data, meningkatkan reformasi regulasi sektor keuangan, memperkuat pengelolaan dan transparansi utang, mempercepat agenda infrastruktur menuju pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Selanjutnya, optimalisasi dukungan pembiayaan dari bank pembangunan multilateral (MDBs), memperkuat kapasitas sistem kesehatan dalam pencegahan, kesiapsiagaan dan respon pandemi, dan melanjutkan dukungan untuk menarik investasi sektor swasta di negara-negara berpenghasilan rendah, seperti di kawasan Afrika.
Agenda prioritas dan legacy issue Presidensi G20 Indonesia diharapkan dapat menyeimbangkan agenda global dengan prioritas dan kepentingan domestik, serta menyelaraskan kepentingan berbagai pihak, baik negara maju maupun negara berkembang. [Kompas.Com]