DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pegiat literasi dan aparatur Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Taufiq A. Gani, mendorong adopsi kecerdasan buatan (AI) di perpustakaan beralih dari eksperimen individual menjadi kebijakan kelembagaan. Dorongan ini ia sampaikan lewat tulisannya di Kompasiana, 7 September 2025, yang menautkan pengalamannya memimpin forum Pusat Pengembangan Perpustakaan Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi Perpusnas lembaga yang dipimpinnya. Taufiq juga dikenal sebagai peneliti di Indonesia Digital And Cyber Institute (IDCI).
Menurut Taufiq, penggunaan AI di kampus dan perpustakaan saat ini “masih sporadis”, bergantung inisiatif pribadi mulai dari meringkas bacaan hingga menyusun draf laporan. Dalam forum itu, Dr. Rahmi (Ilmu Perpustakaan UI) memaparkan temuan lapangan, sementara Deputi Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Dr. Adin Bondar, menekankan perlunya kebijakan agar adopsi AI benar-benar meningkatkan layanan. Taufiq menambahkan, kementerian terkait telah menerbitkan pedoman penggunaan AI akademik, namun banyak institusi belum bergerak konkret.
Taufiq mencontohkan langkah di unit kerjanya: berlangganan ChatGPT menggunakan APBN sehingga AI menjadi bagian dari infrastruktur resmi, bukan sekadar uji coba pribadi. Hasilnya, penyusunan dokumen perencanaan, monitoring-evaluasi, hingga pengukuran dampak program menjadi lebih cepat dan terstruktur. “AI membuat pondasi, pustakawan memberi jiwa,” tulisnya.
Ia mengingatkan, mengadopsi teknologi disruptif tidak cukup berhenti pada “kosmetik” menempelkan AI di katalog atau layanan referensi melainkan perlu perombakan proses bisnis. Strategi itu harus dibingkai sebagai kebijakan, diturunkan ke SOP, lalu diterjemahkan menjadi instruksi teknis harian pustakawan.
Lebih jauh, Taufiq memaparkan potensi AI: mempercepat katalogisasi, menghasilkan kata kunci dan sinopsis koleksi, memberi rekomendasi bacaan personal, hingga membaca pola kunjungan dan tren pinjaman secara real-time. Di tataran teoretik, ia merujuk “tangga” data-informasi-pengetahuan (Ackoff) dan perpaduan pengetahuan ‘tacit explicit’ (Nonaka - Takeuchi) yang dapat dijembatani AI.
Ia juga menyinggung praktik internasional dari perpustakaan nasional di Eropa hingga Xiaotu, chatbot dinamis di Tsinghua University Library sebagai bukti bahwa integrasi AI di perpustakaan bukan sekadar wacana.
Pada akhirnya, Taufiq melihat misi perpustakaan melampaui efisiensi layanan. Di tengah “perang kognitif” ketika algoritma dan disinformasi turut mempengaruhi nalar publik perpustakaan harus hadir sebagai benteng kognitif bangsa. Karena itu, jurang adopsi AI mesti ditutup dengan dua syarat: keberanian mengambil keputusan di level institusi dan ruang bagi pustakawan muda untuk berinovasi. AI tak menggantikan manusia, melainkan menjadi asisten terbaik bagi pustakawan.