Tingkat Kematian COVID-19 di Indonesia Tertinggi se-Asia, Ini Penjelasannya
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pandemi virus corona (COVID-19) di Indonesia telah merenggut 784 korban jiwa per Rabu, 29 April 2020, sementara jumlah pasien terinfeksi sebanyak 9.771 dan 1.391 orang di antaranya sembuh.
Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tingginya tingkat kematian COVID-19 di Indonesia, di antaranya adalah kesehatan masyarakat yang buruk dan kesenjangan dalam sistem perawatan kesehatan.
Ahli Epidemiologi Indonesia, Pandu Riono mengatakan faktor usia (lansia) dan orang dengan penyakit penyerta (komorbid) berpotensi memiliki tingkat kematian tertinggi akibat COVID-19. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok juga menjadi faktor lain penyebab tingginya angka kematian.
“Banyak orang Indonesia umumnya kurang bugar dan kondisi ini membuat mereka lebih rentan. Kebanyakan orang Indonesia tidak merawat paru-paru mereka dengan baik, karena kebanyakan dari mereka adalah perokok,” terang Pandu, sebagaimana dirangkum Riyadh Daily dari CNA, Kamis (30/4/2020).
Menurut data yang dimiliki organisasi kesehatan dunia (WHO) Indonesia memiliki tingkat perokok tertinggi di dunia yakni sekira 75 persen. Kondisi ini juga jadi penyebab banyak orang yang menderita penyakit jantung, hipertensi dan diabetes.
Juru Bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, mengatakan kesadaran masyarakat yang masih kurang jadi faktor utama meningkatnya jumlah kasus di Indonesia. Terlebih saat ini banyak masyarakat yang memaksakan untuk pulang ke kampung halamannya di tengah pandemi.
Yuri mengatakan tetap tinggal di rumah adalah pilihan terbaik yang bisa dilakukan oleh masyarakat saat ini. Ia berharap umat Muslim menjalankan ibadah Ramadhan, bersama keluarga. Karena di luar rumah, kita tidak tahu siapa yang membawa virus. “Banyak orang tanpa gejala (OTG), yang tidak bisa dibedakan dengan mata biasa. Jangan bepergian, jangan mudik, ini yang menjadi kunci,” lanjutnya.
Sejak Indonesia melaporkan kematian COVID-19 pertamanya pada pertengahan Maret, tingkat kematian di Tanah Air secara konsisten terbilang tinggi antara 8-9%. Angka ini dihitung dengan cara membagi jumlah kematian dengan jumlah kasus dan Indonesia menempati angka yang tertinggi di Asia.
Angka kematian di Filipina yakni 6,5 persen sementara untuk Singapura dan Malaysia adalah 0,1 dan 1,7 persen. Angka kematian di Tanah Air pun jauh lebih besar dibandingkan dengan negara awal pandemi yakni China sebesar 5,6% sementara Jepang dan Korea Selatan sebesar 2-3%.
Selain kondisi kesehatan masyarakat yang buruk, Pandu menjelaskan respon yang lambat dari pihak berwenang turut mengambil andil dalam besarnya tingkat kematian COVID-19. Pada awal Maret hanya ada satu laboratorium di Indonesia yang mampu melakukan tes COVID-19.
Hasil tes Swab tidak bisa diperoleh dengan cepat dan membuat banyak pasien harus menunggu lama untuk dirawat di rumah sakit. Alhasil rumah sakit menjadi kewalahan karena terlalu banyak kasus yang datang sekaligus. Kurangnya stok alat pelindung diri (APD) juga membuat banyak tenaga medis gugur saat menjalankan tugasnya.
“Jika pihak berwenang bertindak cepat dan menunjuk rumah sakit untuk berspesialisasi hanya untuk menangani kasusk COVID-19 maka sumber daya manusia, peralatan, obat-obatan bisa sepenuhnya dioptimalkan menuju rumah sakit tertentu,” lanjut Pandu.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Indonesia, dr. Lia Partakusuma sependapat dengan pernyataan Pandu. Lambatnya penanganan dari rumah sakit karena segala keterbatasan yang dimiliki membuat tingkat kematian meningkat.
“Bisa jadi pasien awalnya sakit ringan tetapi gagal mendapatkan perawatan kesehatan yang tepat sementara orang tersebut menjadi lebih lemah. Selain itu fasilitas di rumah sakit daerah belum sepenuhnya memadai. Tetapi ini adalah proses yang berkelanjutan,” jelas dr. Lia.
Para ahli sepakat bahwa lebih banyak tes COVID-19 serta adanya data yang dapat diandalkan menjadi gambaran penting untuk melihat pandemi ini agar lebih akurat. Kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Pusat di Thailand, dr. John MacArthur mengatakan pengujian di Indonesia dilakukan secara terbatas dan biasanya saat pasien telah sakit.
“Ini dapat menghasilkan angka kematian yang lebih tinggi karena penyebabnya lebih rendah. Dengan kasus tanpa gejala atau hanya sedikit gejala yang dialami,” ungkapnya.
Reuters menyebut bahwa data resmi pemerintah Indonesia terkait COVID-19 tidak akurat. Mereka menyebutkan lebih dari 2.200 orang Indonesia telah meninggal dengan gejala COVID-19 tetapi tidak dicatat oleh pemerintah.
Tinjauan dilakukan Reuters pada 16 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, tiga ahli medis mengatakan angka-angka tersebut mengindikasikan jumlah korban jiwa nasional kemungkinan jauh lebih tinggi daripada angka resmi yang saat ini menyentuh 773.
Data terbaru dari 16 provinsi menunjukkan ada 2.212 kematian pasien dalam pengawasan (PDP) karena terinfeksi virus corona akut. Data dikumpulkan oleh lembaga provinsi setiap hari berdasarkan informasi dari rumah sakit, klinik dan petugas yang mengawasi pemakaman. Sebanyak 2.212 kematian adalah tambahan dari 693 orang yang dites positif COVID-19.
Anggota Senior Gugus Tugas Percepatan COVID-19, Wiku Adisasmito, tidak membantah temuan yang diperoleh Reuters. Tetapi mereka menolak mengomentari jumlah korban COVID-19 yang diyakini dapat ditemukan di antara pasien yang masuk kategori sebagai PDP.
Dokter Wiku mengatakan lebih dari 19.897 orang yang diduga terinfeksi COVID-19 di Indonesia belum diuji karena antrean panjang spesimen yang menunggu diproses di laboratorium yang kekurangan staf. Beberapa orang telah meninggal sebelum sampel mereka dianalisis.
“Jika mereka memiliki ribuan atau ratusan sampel yang perlu mereka uji, mana yang akan mereka prioritaskan? Mereka akan memberikan prioritas kepada orang-orang yang masih hidup,” jelas dr. Wiku kepada Reuters. (Im/Okezone)