DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Ahmad Shalihin, menilai rencana pemerintah untuk melegalkan aktivitas tambang rakyat melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) merupakan peluang yang dapat menertibkan praktik pertambangan ilegal yang selama ini marak di Aceh.
Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan tersebut tidak boleh sekadar formalitas, melainkan harus dibarengi dengan pemahaman, kajian mendalam, dan pengawasan ketat agar tidak merusak lingkungan.
“Di wilayah pertambangan rakyat, secara pendekatan memang dibenarkan dan ada peluangnya. Hanya saja perlu dipastikan, tambang-tambang ilegal yang selama ini marak terjadi di tujuh kabupaten di Aceh itu bisa ditertibkan melalui pelegalan dengan skema WPR. Tapi pemerintah, baik pemerintah daerah maupun kementerian terkait, harus menjelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan tambang rakyat itu,” ujar Ahmad Shalihin kepada Dialeksis.com, Senin (11/8/2025).
Ia menjelaskan, pertambangan rakyat memiliki ciri khas: tidak menggunakan alat berat dan tidak menggunakan bahan kimia berbahaya. Namun, di lapangan sering terjadi penyimpangan.
“Jangan-jangan dikatakan tambang rakyat tapi juga masih menggunakan alat berat dan bahan kimia. Kalau begitu, ini bukan lagi tambang rakyat, tapi tambang skala industri yang disamarkan,” tegasnya.
Menurut Ahmad Shalihin, Pemerintah Aceh perlu memulai dengan menugaskan pemerintah kabupaten untuk membuat identifikasi awal dan kajian mendalam terkait wilayah yang layak dijadikan WPR. Pemilihan wilayah, kata dia, harus memenuhi kriteria lingkungan hidup yang ketat.
“Salah satu kriterianya adalah wilayah yang sudah ditambang sejak 20 tahun lalu, bukan wilayah baru yang masih alami. Dengan begitu, kita mengembalikan fungsi lahan bekas tambang dengan skema pertambangan rakyat yang lebih ramah lingkungan,” jelasnya.
Walhi Aceh, lanjut Shalihin, juga menilai WPR dapat menjadi instrumen pembinaan dan penegakan tanggung jawab lingkungan bagi para pelaku tambang. Dengan status legal, pelaku tambang memiliki kewajiban memperbaiki kerusakan atau mencemari wilayah tambang.
“Peluang ini bisa digunakan untuk membina, menertibkan, sekaligus memberi ruang partisipasi rakyat. Tapi harus diingat, semua itu tidak boleh mengesampingkan kaidah lingkungan hidup,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa izin pertambangan rakyat (Izin Pertambangan Rakyat atau IPR) memiliki dasar hukum yang jelas.
Berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967, pertambangan rakyat adalah usaha pertambangan bahan galian dari semua golongan yang dilakukan oleh masyarakat setempat secara kecil-kecilan atau gotong-royong, dengan alat sederhana, untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri.
“Konsepnya jelas: luas wilayah terbatas, investasi terbatas, dan tidak ada penggunaan teknologi yang merusak. Prinsipnya, pertambangan rakyat harus memperhatikan lingkungan,” tutupnya. [nh]