kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / WHO Tidak Menyarankan Rapid Test Sebagai Alat Untuk Deteksi Kasus Corona

WHO Tidak Menyarankan Rapid Test Sebagai Alat Untuk Deteksi Kasus Corona

Selasa, 21 April 2020 20:27 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi rapid test virus corona. (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak menyarankan penggunaan rapid test anti-bodi atau tes cepat untuk mendeteksi kasus virus corona (Covid-19). Perwakilan WHO untuk Indonesia, dr. Navaratnasamy Paranietharan, mengatakan selama ini WHO hanya melakukan rapid test untuk keperluan penelitian saja, bukan untuk mengonfirmasi kasus positif atau negatif corona.

"WHO tidak merekomendasikan penggunaan diagnosa rapid test berdasarkan anti-bodi sebagai pemeriksaan penanganan wabah corona atau penanganan pasien. Kami tidak merekomendasikan itu," kata Paranietharan saat mengisi webinar yang digagas Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI secara pada Selasa (21/4).

Pernyataan itu diutarakan Paranietharan saat menjawab pertanyaan Wakil Ketua BKSAP, Charles Honoris, terkait apakah rapid test digunakan di negara-negara lain dalam hal penanganan penyebaran wabah corona.

Sebab, menurut Charles, pemerintah Indonesia menggunakan dua metode yaitu antibodi rapid test dan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RTPCR) atau tes PCR dalam pemeriksaan corona.

Paranietharan menuturkan sejauh ini WHO menilai tes PCR merupakan standar utama. Ia menegaskan bahkan WHO tidak pernah memasukan hasil pemeriksaan menggunakan rapid test ke dalam perhitungan kasus corona yang terkonfirmasi.

"Kami tidak menghitung hasil rapid test sebagai kasus terkonfirmasi. PCR adalah standar emas dan kami selama ini mempertimbangkan kasus terkonfirmasi berdasarkan hasil tes PCR," ucap Paranietharan

Dalam webinar bertajuk Peran Parlemen dalam Kerja Sama Internasional Penanggulangan Covid-19, Wakil Ketua Dewan Rakyat Malaysia, Mohd Rashid Hasnon, turut bertukar pengalaman bahwa Negeri Jiran juga tak menggunakan rapid test untuk mendeteksi kasus corona dan menekan angka penularan.

Rashid menuturkan pemerintah Malaysia sejauh ini mengandalkan pemeriksaan tes PCR atau melalui pengambilan cairan saluran pernapasan (swab) yang dinilai lebih akurat.

Malaysia menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki kasus corona cukup tinggi tetapi dengan angka tingkat kematian yang rendah. Per hari ini, berdasarkan Worldometer, Malaysia tercatat memiliki 5.425 kasus corona dengan 89 kematian.

Pertanyaan mengenai perbedaan rapid test dan tes PCR memang terus bermunculan, terutama setelah pemerintahan Presiden Joko Widodo berencana melakukan pemeriksaan massal rapid test untuk mendeteksi kasus virus corona di dalam negeri.

Dalam rapat terbatas melalui telekonferensi pada 19 Maret lalu, Jokowi menginstruksikan agar segera dilaksanakan rapid test corona massal di Indonesia agar bisa mendeteksi dini indikasi awal seseorang terpapar Covid-19.

Agar rapid test Covid-19 berjalan lancar, Jokowi meminta Kementerian Kesehatan agar segera memperbanyak alat dan tempat tes. Tak hanya Kemenkes, Jokowi juga meminta rumah sakit pemerintah, BUMN, TNI-Polri, hingga swasta turun tangan demi kelancaran rapid test massal.

Jokowi menyatakan pelaksanaan rapid test sudah dimulai sejak 20 Maret lalu, terutama di wilayah paling rawan termasuk DKI Jakarta.

Cara rapid test adalah dengan mendatangi rumah warga yang terindikasi melakukan kontak dengan pasien positif, untuk kemudian dilaksanakan tes corona.

Meski begitu, hasil rapid test ternyata tak bisa disimpulkan untuk mengonfirmasi kasus positif atau negatif corona.

Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan hasil rapid test masih perlu pembuktian laboratorium melalui tes PCR. (Im/CNNIndonesia)

Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda