2 Periode Kebangkitan Islam
Font: Ukuran: - +
Penulis : Otto Syamsuddin Ishak
Tentunya gelombang atau periode kebangkitan keberagamaan di Indonesia, khususnya untuk Islam, bukan hanya pada 2 periode ini, bahkan bangkit dan redup itu sudah terjadi dalam beberapa gelombang. Barangkali silih berganti itu, bagaikan perputaran siang dan malam. Masalahnya, di luar kedua gelombang itu, secara personal, penulis bukanlah berada di dalamnya.
Hal yang menarik adalah tentang isu yang dikibarkan dan konteks politiknya. Konteks, bukanlah stagnan, melainkan dinamis. Pada 1970, Nurcholis Madjid mencanangkan slogan: "Islam Yes, Partai Islam No". Barangkali, sebagai anak zamannya Orde Lama, maka untuk kemaslahatan umat, dalam refleksinya terhadap dinamika politik –tentang interaksi antar partai Islam dan dengan rezim politik, serta kondisi keberagamaan pada masa itu (1950-an), Nurcholis sampai pada slogan tersebut. Slogan itu ditiupkan dan hidup dalam kebangkitan Islam 1980-an, di satu pihak menjadi sumber spirit perlawanan terhadap Rezim Orde Baru terhadap Asas Tunggal Pancasila, di lain pihak bertemu pada titik zaman yang melahirkan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI, 1990).
Lalu, ketika Nurcholis hendak maju sebagai calon kandidat presiden untuk Pemilu 2004, menurut Hidayat Nur Wahid, ia meminta dukungan Partai Islam. Nurcholis mengatakan: ‘kalimat, "Islam Yes Partai Islam No" yang muncul pada 1970 adalah saat mana kondisi partai-partai Islam belum bisa menjadi wahana aspiratif dan harapan bagi masyarakat. Ketika itu Partai Islam belum bisa mengemas secara apik bahasa agama ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang plural.’
Pada konteks dinamika politik saat ini, setelah beranjak sekitar 50 tahun, ada yang mengatakan slogan tersebut masih relevan, dan ada yang mengatakan juga sudah tidak relevan lagi sehingga muncul slogan: Islam Yes, Berpolitik Yes! Jika merujuk pada sikap politik Nurcholis di atas, maka slogan tahun 50-an tersebut bisa tidak relevan lagi. Slogan itu terkena perubahan konteks (ditelan zaman). Dalam penalaran keagamaan, ibarat bunyi hadist yang kerap dirujuk untuk menerangkan nasikh dan mansukh, antara lain: "Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah." (HR. at-Tirmidzi), yang hikmahnya untuk memberikan kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Pemahaman akan hal ini penting karena dapat menjadi landasan untuk mempertimbangkan bilamana kemutlakan dan ketidakmutlakan sebuah slogan, lalu bilamana terjadi politisasi ber-Islam atau Islamisasi berpolitik dalam konteks dinamika paradigma kebangkitan politik identitas.
Atas dasar pandangan demikian muncul kebangkitan Islam sejak 1980-an. Lalu, bagaimana pula konteks kemunculan kebangkitan (2018-an) sekarang?
Kebangkitan sejak 1970-an
Lepas pertengahan 1970, saya sudah berada di IPB (1978), main ke masjid Salman ITB, kemudian kuliah di UGM (1979) dan menyaksikan Ramadhan On Campus, jamaah Shalahuddin. Di sanalah mulai terbaca kebangkitan Islam, khususnya ketika memasuki bulan Ramadhan. Di luar waktu itu, di kalangan sebagian mahasiswa beredar copy tulisan Natsir, Roem dan Agus Salim. Bacaan tentang kepartaian adalah fenomena Masyumi. Kala liburan semester muncul kegiatan pesantren kilat.
Bahkan mahasiswa memburu pikiran-pikiran kaum intelektual Iran yang progresif, khususnya Ali Shariati, dengan bukunya tentang Haji, Intelektual dan Sosiologi Islam. Kala itu tidak ada perselisihan Suni, Syiah dan Ahmadiyah, meskipun telah muncul buku Dialog Syiah-Suni. Bahkan, penceramah Ramadhan yang berasal dari berbagai fakultas yang berada di lingkungan UGM, ternyata ada dari kalangan Ahmadiyah. Topik ceramah mereka sekitar keterkaitan bidang keilmuan masing-masing penceramah dengan Islam.
Di kota besar, Jakarta, muncul penyelenggaraan shalat tarawih di gedung megah yang diinisiasi oleh Nurcholis, yang katanya untuk menampung hasrat ibadah kelas menengah-atas kota metropolitan. Juga, ada inisiasi kursus tentang tasawuf.
Kesemua itu terjadi dalam konteks dinamika politik Orde Baru, rezim yang sedang merekonstruksi struktur dan kultur bernegara untuk memudahkan pengendaliannya. Proses aglomerasi partai politik menurut ideologi yang diperkenalkan Soekarno (1960-an), Nasakom, yang merupakan trikhotomi ideologi, dapat dianggap telah selesai, yakni menjadi 2 (nasionalis dan Islam), tambah 1 (Pancasila): PDI (nasionalis dan non-Islam), PPP (Islam), dan Golkar (pembela Pancasila). Hal ini dapat dikatakan sebangun dengan trikhotomi varian keagamaan-sosial yang ditemukan Geertz di Jawa: Abangan, Santri, Priyayi.
Isu negatif utamanya, yang dimunculkan rezim terkait dengan Islam politik, yakni tentang kelompok-kelompok Komando Jihad (Komji) yang akar historisnya ditarik ke Darul Islam (DI/TII). Ada tukang jahit mengadakan pengajian bersama pekerjanya, tiba-tiba mendapat label sebagai penggerak Komji. Ada bom meletus, maka kesimpulannya dilakukan oleh anggota kelompok Komji (yang pada masa itu belum ada label teroris).
Kemudian memasuki tahun 1980, isu politik yang kuat adalah upaya politik rezim untuk memberlakukan asas tunggal Pancasila, terutama pada semua ormas tanpa kecuali, dan tentunya kebijakan itu mendapat penolakan dari ormas Islam sehingga terjadi perpecahan di dalam tubuh ormas tersebut.
Satu hal yang menarik pada era ini muncul wacana Islam dan Pancasila, yang mana KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam PBNU (1984-1991) pada waktu itu menjadi inisiator utama, yang wacana itu termasuk menjadi bagian dari Kembali ke Khittah 1926: Jelaslah bahwa Republik Indonesia adalah Negara nasional yang wilayahnya dihuni oleh penduduk yang sebagian terbesar memeluk agama Islam. Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara.
Sejak itu, wacana tentang relasi kebangsaan, Pancasila dan Islam dapat dikatakan selesai hingga berakhirnya Orde Baru dengan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Kebangkitan sejak 2010-an
Dalam konteks reformasi, wacana politik sepenuhnya berkisar pada perubahan ke bentuk negara yang demokratis, lawan dari otoritarian. Pemenuhan tentang HAM sebagai akibat dari represi di masa Orba, konflik vertikal (Aceh dan Papua) dan horizontal serta operasi militer. Tidak ada gejala kebangkitan keislaman.
Namun, ketika ada kejadian WTC 11 September 2001, maka muncul perang global, baik wacana maupun aksi militer, terhadap terorisme yang pusatnya di kawasan konflik dengan populasi terbesar muslim. Di Indonesia berarti ditarik kembali sinambungnya ke DI/TII, baik Kartosuwiryo maupun Kahhar Muzakkar. Wacana Islam radikal muncul, dan melahirkan wacana Islam moderat serta akhirnya Islam Nusantara.
Islam pun masuk ke ranah politik pada pekan-pekan Pilkada hingga Pilpres 2019. Kebangkitan Islam dalam periode ini banyak dibaca dalam perspektif wacana kebangkitan politik identitas. Kemunculan juru dakwah dibaca sebagai actor yang melakukan politisasi identitas keislaman dan bagian dari bahaya yang dapat mengancam system demokrasi itu sendiri.
Apalagi, kebangkitan Islam itu dibaca dengan pengorientasian pada upaya penggantian system politik menuju sistem khilafah sambal membayangkan ISIS dan HTI. Hal ini sangat beda dengan konteks sebelumnya, yang membayangkan DI/TII di masa Orba atau di awal kemunculan isu teroris.
Jika demikian imajinasi khilafah yang diorientasikan, tentunya, kebangkitan Islam dalam periode ini akan menimbulkan dikhotomi ideologis dan politik yang tajam. Akhirnya, dampak yang muncul akan berbeda dengan pada periode kebangkitan Islam periode akhir 1970-an hingga 1980-an di Indonesia. Perihal dampak ini juga berbeda kalau dibandingkan dengan periode 1950-an manakala munculnya aksi politik (militer) DI/TII di sejumlah daerah di Indonesia.
Penutup
Begitulah, bila dalam kebangkitan Islam 1970-an berslogan: "Islam Yes, Partai Politik Islam No", maka dalam kebangkitan Islam yang sedang berlangsung sekarang slogannya: "Islam Yes, Berpolitik Islam Yes". Cara membaca atau perspektif yang dipakai untuk membaca akan menentukan bagaimana hasil bacaannya. Artinya, bahwa akan berbeda hasilnya antara kita membaca dengan perspektif kebangkitan Islam dengan perspektif kebangkitan politik identitas (Islam).
Apa yang tampak menjadi fenomena utama dari perspektif politik identitas, yang di satu pihak mengabaikan kehadiran para juru dakwah dengan basis pendidikan yang lebih baik, populis, dan dengan jamaah yang massal; dan di lain pihak menonjolkan imaginasi khilafah yang mengacu pada ISIS dan HTI, maka polarisasi atau dikhotomi antar golongan politik menjadi semakin tajam. Hal yang menonjol pasca peristiwa Garut adalah terjadi dikhotomi di dalam tubuh umat Islam Indonesia sendiri, yakni antara yang menganggap itu sebagai bendera Tauhid dan HTI.
Apalagi bila aparat hukum memakai tafsir perspektif politik identitas di dalam proses penegakan hukumnya, maka dengan sendiri negara terseret ke dalam polarisasi yang dikhotomis itu. Artinya, negara akan dianggap merupakan bagian dari salah satu pihak. Dampak tersingkat yang dapat diasumsikan bahwa Pilpres 2019 ini berlangsung di dalam konteks ketahanan nasional yang berada pada derajat yang terus melemah.
Hati-hatilah, jangan sampai terjebak di dalam kepraktisan politik, dan menjauh dari kekukuhan aqidah. Kalau meminjam pribahasa tidak ada akar (aqidah), rotan (politik) pun jadi, maka bila ada akar, mengapa mengambil rotan?*
Otto Syamsuddin Ishak