Aceh, Propinsi Garis Keras dalam Hal Agama
Font: Ukuran: - +
Prof. Mahfud MD diwawancara oleh stasiun TV. Opininya menjadi viral, bahkan berkembang menjadi olok-olok di medsos, bukan lagi sekedar kritik ketika ia menyampaikan pandangan tentang karakteristik propinsi di mana Capres 02 menang dan Capres 01 kalah.
Katanya: "tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap propinsi garis keras dalam hal agama, misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga. "
Lalu, apa hal yang menarik bagi kita di Aceh? Yakni ketika Mahfud menggunakan istilah "garis keras". Lalu, ketika Mahfud merespon kritikan, ia menyamakan antara kata fanatik dan garis keras: "Garis keras itu sama dengan fanatik dan sama dengan kesetiaan yang tinggi. Itu bukan hal yang dilarang, itu term politik. Sama halnya dengan garis moderat, itu bukan hal yang haram." Lalu, Mahfud bersembunyi di balik kata "dulunya".
Selanjutnya, apakah sebuah istilah dapat dibubuhkan demikian saja, terutama sebagai seorang guru besar?
Kemudian dengan tanpa merasa konotatif, Mahfud mengatakan: "Dua-duanya boleh dan kita bisa memilih yang mana pun. Sama dengan bilang Jokowi menang di daerah PDIP, Prabowo di daerah hijau." Ini saja sudah menunjukkan komparasi Mahfud tidak jeruk banding jeruk.
Mahfud masih melanjutkan kilahnya: "Dalam term itu saya juga berasal dari daerah garis keras yaitu Madura. Madura itu sama dengan Aceh dan Bugis, disebut fanatik karena tingginya kesetiaan kepada Islam sehingga sulit ditaklukkan.
Seperti halnya konservatif, progresif, garis moderat, garis keras adalah istilah-istilah yang biasa dipakai dalam ilmu politik." Kalaulah ia konsisten dengan persamaan yang ditariknya sendiri, mengapa ia tak termasuk ke dalam sikap kebanyakan pemilih di Aceh, bahkan di kenegerian asalnya sendiri, Madura?
Mahfud nampaknya sedang tidak mencari keunikan-keunikan antar konteks sosial, karena ia sedang berupaya untuk merasionalisasikan opininya, sehingga yang ia butuhkan adalah kesamaan-kesamaan antar konteks dengan tanpa rincian penggambaran.
Mahfud tetap bersikukuh, meskipun ia sudah mulai berlompatan dari istilah "garis keras" ke istilah "fanatik", dan, yang ia rasionalkan dengan "biasa dipakai dalam ilmu politik." Dalam KBBI bahwa "fanatik/fa·na·tik/ a teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya)." Lalu, seartiankah dengan istilah garis keras?
Masalahnya, apakah seorang akademisi dapat dengan serta merta menggunakan sebuah istilah untuk menggambarkan sebuah konteks, sebagaimana Mahfud berpendirian? Lalu, pertanyaannya, jika demikian apakah Mahfud sedang melakukan katagorisasi sebuah atau beberapa konteks sosial atau, bahkan ia sebenarnya sedang memberikan label (negatif) pada sebuah atau beberapa konteks sosial?
Ambil contoh Snouck --yang dianggap oleh Fogg lebih sebagai pakar kajian Arab daripada Hindia Belanda-- yang untuk mengetahui "pengaruh fanatisme Islam atas sikap orang Aceh yang dengan gigih melawan kekuasaan Belanda, ia sampai menyusup dengan segala cara ke Mekkah (1884-1885). Snouck juga harus tinggal di Aceh berbilang tahun untuk sampai dapat menggunakan istilah fanatik untuk orang Aceh.
Contoh lain, Compton yang menugaskan dirinya untuk mengumpulkan bahan tentang Islam di Aceh. Ia hidup selama 5 tahun di Indonesia. Ia dengan sengaja menghadiri Musyawarah Ulama 1953 di Medan. Sebuah periode waktu naik pasang pemikiran negara Islam. Ia bertemu dan bersama Daud Beureueh ke Aceh, hingga ia sampai pada kesimpulan bahwa fanatisme di Aceh pada saat itu berbeda dengan fanatisme orang Aceh ketika melawan Belanda.
Untuk mendekat ke konteks Prof. Mahfud, mungkin dapat merujuk pada kerja-kerja Geertz di Mojokuto untuk mengetahui bagaimana orang Jawa beragama sehingga mengukuhkan katagori abangan, santri dan priyayi.
Contoh-contoh di atas untuk menunjukkan pemakaian sebuah istilah untuk mengkatagorikan sebuah konteks adalah tidak serta merta dapat dilakukan oleh seorang akademisi. Untuk menggunakan sebuah istilah dalam mengkatagorikan sebuah konteks adalah membutuhkan waktu, energi dan kecerdasan intelektual yang tidak rata-rata.
Tentu lain hal, jika kita ingin melabel sebuah konteks menurut kepentingan afiliasi politik kita, memang tidak membutuhkan waktu, energi dan ketrampilan riset yang tinggi. Sebetulnya Mahfud, jika bukan untuk kepentingan afiliasi politiknya, bisa melakukan sebagaimana Compton, yakni ada perkembangan dalam arti kefanatikan di zaman kolonial dengan di awal periode kemerdekaan RI.
Tapi, ternyata Mahfud mencukupkan dirinya dengan memiliki hasrat politik yang kuat, dan tanpa referensi yang kuat. Inilah yang dilakukan oleh Prof Mahfud, khususnya untuk Aceh.*
*Penulis: Otto Syamsuddin Ishak