DIALEKSIS.COM | Opini - Bencana besar yang melanda Aceh dan wilayah Sumatera kembali menunjukkan kelemahan dalam penanganan darurat. Warga mengalami kepanikan, akses logistik terputus, informasi tidak stabil, dan kepemimpinan tidak terlihat ketika masyarakat paling membutuhkan arahan.
Pada hari-hari pertama, warga di Tanah Gayo tidak mengetahui ke mana harus meminta bantuan. Titik pengungsian muncul atas inisiatif warga, bukan arahan pemerintah. Data situasi tidak diperbarui secara rutin dan lebih banyak beredar dari media sosial. Meminjam istilah Dr. Irham dari Universitas Syiah Kuala, kondisi ini menggambarkan collapse of command system, yaitu ketika negara kehilangan kemampuan mengarahkan masyarakat pada fase kritis.
Di tengah situasi ini, muncul desakan agar status bencana dinaikkan menjadi bencana nasional. Menurut saya, fokus pada status justru mengaburkan persoalan utama. Masalah Aceh bukan kategori bencananya, tetapi absennya komando dan kehadiran negara pada saat darurat. Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Bapak Lukman dari Aceh Institute. Status adalah instrumen administratif. Yang dibutuhkan warga adalah kepastian, perlindungan, dan koordinasi.
Langkah cepat Danrem Lilawangsa, Kolonel Ali Imran, patut diapresiasi. Beliau memastikan stok beras di Lhokseumawe mencukupi hingga satu tahun dan membuka akses pembelian langsung ke Bulog. Kepastian mengenai aset dan akses memberikan ketenangan bagi masyarakat. Dalam kondisi darurat, dua hal ini menjadi representasi kehadiran negara.
TNI AU juga mengerahkan empat pesawat angkut dan helikopter untuk mendukung evakuasi serta distribusi logistik. Upaya ini penting karena banyak warga terjebak di dataran tinggi akibat jalan dan jembatan terputus. Namun masyarakat tidak mengetahui cara mengakses layanan tersebut. Tidak ada informasi tentang reservasi, titik kumpul, atau jadwal penerbangan. Aset negara telah bergerak, tetapi mekanisme aksesnya belum tersedia secara jelas.
Di sinilah letak persoalannya. TNI mengerahkan pesawat dan pasukan, tetapi pemerintahan sipil bertanggung jawab menyediakan pusat komando dan pusat informasi yang menghubungkan masyarakat dengan aset tersebut. Tanpa komando sipil yang efektif, kemampuan negara tidak dapat tersampaikan kepada warga yang membutuhkan bantuan.
Publik juga mempertanyakan apakah Batalyon Zeni Tempur Kodam IM serta tiga Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan (Yon-TP) telah digerakkan. Satuan-satuan ini memiliki kemampuan membuka akses, membangun jembatan darurat, dan menjangkau wilayah terisolasi. Jika belum bergerak, alasan perlu dijelaskan. Jika sudah, masyarakat perlu mengetahui bagaimana mengakses dukungan tersebut. Transparansi bukan sekadar komunikasi; ini menyangkut keselamatan warga.
Bencana kali ini menjadi ujian bagi penerapan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang pernah dibahas dalam revisi UU TNI. Namun efektivitas OMSP sepenuhnya bergantung pada dukungan pemerintahan sipil lokal. Tanpa sinergi, operasi darurat tidak akan berjalan optimal.
Karena itu, energi publik tidak perlu habis pada polemik status bencana nasional. Perubahan status tidak menjamin percepatan bantuan. Yang mempercepat adalah komando yang jelas, koordinasi lintas-institusi, dan akses terbuka terhadap aset TNI, BPBD, serta instansi lainnya.
Aceh adalah wilayah yang berulang kali menghadapi bencana. Idealnya, tingkat kesiapsiagaannya lebih baik dibanding daerah lain. Namun kejadian kali ini menunjukkan bahwa Aceh masih lemah dalam koordinasi, manajemen data, dan kepemimpinan darurat. Ini saat yang tepat untuk memperbaiki desain kesiapsiagaan bencana secara menyeluruh.
Dalam aspek data, Aceh sebenarnya pernah memiliki unit geospasial di Bappeda Aceh yang berperan penting dalam pemetaan risiko. Namun setelah BRR selesai, unit tersebut tidak terdengar lagi, dan saya tidak yakin apakah masih berfungsi. Padahal data geospasial sangat menentukan kualitas respons bencana.
Pada akhirnya, masyarakat Aceh hanya membutuhkan pemerintah yang hadir ketika bencana datang. Mereka tidak meminta hal yang rumit. Mereka ingin dipimpin, dilindungi, dan diarahkan ketika kondisi paling sulit. Jika hal ini dapat diwujudkan, esensi kehadiran negara telah terpenuhi, tanpa harus memperdebatkan status bencana sekalipun.
Penulis: Taufiq A Gani, Alumni PPRA 65 Lemhannas RI, Peneliti di Indonesia Digital Cyber Institute (IDCI), ASN di Perpustakaan Nasional RI