Akar Kekerasan dan Ekstrimisme
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi
DIALEKSIS.COM | Erich Fromm (dalam The Anatomy of Human Destructiveness, 1973), seorang filsuf asal Jerman membahas kajian psikologi tentang kekerasan secara detail dan mendalam melalui perspektif yang belum pernah dipaparkan sebelumnya. Bagi Fromm, kekerasan yang dilakukan manusia yang memang telah terjadi sepanjang sejarah umat manusia--terkait dengan faktor eksistensialitas. Baginya, kekerasan tidak hanya mutlak dilandasi oleh faktor instingtif atau dorongan alamiah sebagaimana insting pada hewan. Namun lebih dari itu, faktor eksistensi turut mempengaruhi munculnya kekerasan. Yaitu ketika terhambatnya upaya manusia untuk berkembang ke arah positif, maka upaya alternatif yang dapat dilakukan manusia adalah melalui kekerasan.
Menurut Fromm, kekerasan bukan seuatu yang melekat dalam diri manusia sebagai fitrahnya. Tapi lebih kepada kondisi dan situasi yang menghambat manusia untuk tumbuh secara baik. Keterhambatan tersebut membuat manusia berpikir secara tidak rasional sehingga mampu melakukan kekerasan. Ia melanjutkan bahwa manusia punya dua potensi dasar, potensi baik (biophilia) dan potensi buruk (necrophilia).
Jenis dan Bentuk Kekerasan
Fromm membagi jenis kekerasan (agresi) dalam dua golongan; pertama, agresi defensif; yaitu kekerasan yang dilakukan dalam tujuan mempertahankan diri yang menurutnya sebagai kekerasan yang berlandaskan niat baik. Kekerasan semacam ini tidak bersifat tetap, apabila hilang ancaman maka hilang pula potensi aktor untuk melakukan kekerasan. Kedua, agresi destruktif; yaitu kekerasan yang dilakukan secara sungguh-sungguh yang bertujuan menyengsarakan orang lain. Kekerasan jenis ini muncul lebih kepada faktor kepanikan eksistensialitas, sehingga kekerasan dilakukan sebagai jalan untuk menunjukkan eksistensi. Kekerasan semacam ini muncul dari faktor hambatan dalam kondisi tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Faktor inferioritas dapat menjadi alasan bagi manusia untuk menjadi superior melalui kekerasan, hingga muncul hasrat untuk memusnahkan dan meniadakan. Dalam kondisi yang inferior, kekerasan dijadikan sebagai solusi untuk tampil secara superior. Stallin dan Adolf Hitler adalah diantara tokoh yang mengafirmasi eksistensinya melalui tindakan kekerasan secara massif. Hal yang sama juga dialami Bennito Mussolini, pemimpin fasis Italia. Pasca perang dunia pertama, Italia dan Jerman sama-sama menelan kekalahan dan harus menerima kenyataan sebagai negara yang kalah perang. Mereka tertekan oleh keadaan dan mengalami kondisi inferioritas yang luar biasa. Keadaan inilah yang kemudian memungkinkan ideologi Fasis di Italia dan Nazisme di Jerman berkembang pesat, yaitu untuk menjawab kondisi kejatuhan mental dan semangat yang tengah dilanda inferioritas. Kondisi ekonomi yang kala itu memburuk, turut memperparah perasaan inferioritas mereka sebagai manusia maupun sebagai sebuah bangsa.
Kekerasan dan Agama
Apabila kita melacak akar kekerasan sejauh Fromm memandang, maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah terkait dengan manusia sebagai individu yang terkait faktor psikologis dan manusia sebagai anggota masyarakat yang terhubung dengan faktor sosiologis dan politik. Kekerasan bisa saja terjadi atas nama agama atau mengatasnamakan agama, bisa juga dengan sebab identitas etnis maupun rasial. Atau juga antar kelompok dengan pahaman ideologi politik yang berbeda. Dari bermacam sebab ini, apabila sebab-sebab yang abstrak dan umum yang telah dijelaskan Fromm tadi menjadi latar belakang terjadinya kekerasan muncul, maka sebab yang beraneka ragam pun dapat memicu kekerasan.
Namun, spesifik pada kekerasan yang berlatar agama, khususnya atas dasar latar belakang agama Islam, kita kemudian mengenal model kekerasan yang dinamakan terorisme yang dimotori Al Qaeda dan muncul varian baru semisal ISIS. Kekerasan semacam ini bukanlah kekerasan yang memang berbasis ajaran agama, melainkan kesalahpemahaman terhadap teks-teks agama yang tidak pernah dipaparkan oleh ulama arus utama dalam ajaran Islam sejak dahulu. Pembahasan ini dapat kita ketahui melalui literatur hukum Islam (fiqih) maupun bahasan dalam forum-forum Internasional yang melibatkan para ulama kenamaaan dunia.
Bagi mayoritas kalangan ulama dan cendikiawan Islam, sebab munculnya paham ekstrim yang mendasari tindak kekerasan adalah akibat kesalahpahaman terhadap ajaran agama. Ketika agama dipahami, diterjemahkan dan disebarluaskan oleh aktor-aktor yang tidak memiliki otoritas dalam keilmuan agama Islam yang coba memenuhi keinginan atau ambisi pribadinya melalui penyelewengan pemahaman terhadap ajaran agama. Sejumlah nama besar ulama dan cendikiawan dunia seperti Syekh Abdullah bin Bayyah asal Mauritania, Syekh Ahmad Thayeb, Syekh Ali Jum'ah dan Syekh Usamah dari Universitas Al-Azhar, Cairo yang merupakan kiblat keilmuan Islam sejak berabad-abad lalu, Habib Ali Al Jufri dan Hamzah Yusuf dan sejumlah nama lainnya, telah membahas persoalan pahaman ekstrim ini yang telah memotori gagasan dan tindakan kekerasan yang terjadi atas nama Islam.
Bagi mereka, kekerasan atas nama agama muncul bukan sebab agama melainkan justru disebabkan kurangnya pemahaman terhadap agama. Juga tidak didengar dan dihargainya ulama sebagai pemegang otoritas keagamaan sebagai subjek yang otoritatif dalam menjelaskan aspek-aspek hukum dalam Islam, sehingga memunculkan pahaman yang di luar arus utama.
Langkah Preventif
Kekerasan atas nama Islam paling efektif diredam oleh ulama sebagai pemegang otoritas dalam keilmuan Islam. Dengan kata lain, masalah pemahaman agama perlu diserahkan kepada ulama sebagai pemegang otoritas keilmuan dan hukum Islam untuk menngklarifikasi pemahaman menyimpang untuk kembali kepada pemahaman Islam yang benar yang memang bertentangan dengan tindak kekerasan.
Masalah yang terjadi di dalam masyarakat muslim perlu dilaksanakan melalui konsolidasi internal yang melibatkan pakar dan ahlinya (yaitu para ulama). Sehingga mencegah munculnya dampak lain yang malah dapat berakibat memperumit permasalahan. Aspek-aspek internal dalam agama yang pendekatannya adalah melalui ajaran agama sendiri adalah lebih perlu diupayakan dalam menyelesaikan masalah kekerasan akibat kesalahpahaman pemahaman terhadap ajaran agama.
Langkah-langkah persuasif sangat perlu dikedepankan untuk mencegah terciptanya perasaan merasa diasingkan (dalam istilah Fromm), dizalimi atau diperlakukan secara inferior. Yang mana perlakuan semacam itu justru menciptakan pra-kondisi untuk merebaknya pahaman kekerasan dan tindak kekerasan karena merasa diperlakukan dengan tidak baik.
Ada faktor pendorong dan penarik dalam kekerasan yang berlandaskan ekstrimisme (Nanes and Lau, 2018 dalam https://www.unodc.org/e4j/en/terrorism/module-2/key-issues/drivers-of-violent-extremism.html). Faktor pendorong adalah faktor yang muncul melalui faktor struktural: keterbatasan kesempatan secara sosio-ekonomi, marginalisasi dan diskriminasi, pemerintahan yang buruk, pelanggaran terhadap hukum dan HAM serta konflik jangka panjang yang tak terselesaikan. Sementara faktor penariknya adalah motivasi individual dan proses yang menggerakkan individu menerjemahkan ide kekerasan menjadi tindakan kekerasan. Faktor ini berasal dari motivasi individual, viktimisasi, penyalahmaknaan keyakinan dan ideologi atau perbedaan etnis dan rasial dan faktor jaringan sosial.
Maka penulis berkesimpulan bahwa masalah kekerasan adalah masalah yang mendasar melibatkan individu dan struktur sosial, yang mana penanganannya harus dilakukan secara kompleks dan menyeluruh untuk mencegah munculnya aspek-aspek penyebab kekerasan dengan cara-cara yang persuasif, adil dan terukur. Hal yang tak bisa dipinggirkan adalah melibatkan stakeholder yang ada di dalam masyarakat maupun kalangan ulama sebagai stakeholder dan juga pakar di bidangnya terkait masalah-masalah agama dan kekerasan yang mangatasnamakan agama. Faktor keadilan sosial dan ekonomi, kesetaraan sosial dan kesejahteraan dan iklim kehidupan yang demokratis juga tak dapat dikesampingkan dalam upaya pencegahan pahaman dan tindakan kekerasan di tengah masyarakat.
Jabal Ali Husin Sab
Penulis adalah seorang essais