kip lhok
Beranda / Opini / APBA: Efek Perilaku Yang Tidak Demokratis

APBA: Efek Perilaku Yang Tidak Demokratis

Jum`at, 11 Mei 2018 14:32 WIB

Font: Ukuran: - +



Aceh adalah negeri yang tergantung pada APBA.

Wahyudin, Kepala BPS Aceh, baru-baru ini mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan I-2018 (Januari sampai Maret) 3,34 persen. Sedangkan pertumbuhan di Sumatera 4,37 persen, sehingga menjadikan  Aceh berada pada posisi nomer 3 dari bawah (terendah).

Inilah akibat kehidupan di Aceh --dari Januari hingga Maret-- vakum dari dana APBA. Baru April mulai ada pengaruh dari dana APBA karena sebesar 1,3 persen dari Rp. 15 T cair untuk belanja pegawai. Sementara, pencairan jumlah dana yang besar berasal dari proyek pembangunan, yang baru dilelang pada April lalu, sehingga masih membutuhkan waktu lagi. Karena itu, pertumbuhan perekonomian Aceh sejak April hingga dana proyek cair ke depan, sepenuhnya tergantung pada belanja pegawai.

Aceh adalah negeri yang tergantung pada APBA.

Memang, jika dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, tidak menjadi persoalan apakah APBA di-qanun-kan atau di-pergub-kan. Dari segi ekonomi, yang utama adalah sesegera mungkin dana dari APBA itu cair.

Namun, kecairan dana APBA adalah sebuah keputusan politik, yang sangat tergantung pada bagaimana komunikasi, sinergi atau koordinasi antara legislatif dan eksekutif. Hal ini merupakan konsekuensi sistem pemerintahan yang demokratis. Namun, sistem boleh demokratis, tapi adalah kesialan kalau para pelakunya tidak memiliki perilaku yang demokratis.    

Aceh adalah negeri yang tergantung pada APBA.

APBA juga adalah pusat ketegangan antara DPRA (legislatif) dan Gubernur/Wakil Gubernur (eksekutif), yang hingga hari ini belum berakhir. Apalagi para pihak melihat pergulatan ini berkorelasi dengan Pemilihan Legislatif 2019. Di sana ada pertarungan jumlah perolehan kursi, khususnya antar partai lokal.

Partai lokal yang dominan di DPRA mempertahankan besaran dan model pencairan dana aspirasi, sebaliknya partai lokal yang mendukung Gubernur mereduksi besaran dan model dana aspirasi. Siapa yang kuat, maka potensi untuk memperoleh kursi parlemen di dalam Pileg 2019 semakin besar.

Aceh adalah negeri yang tergantung pada APBA.

Wahyudin, Kepala BPS Aceh, pernah mengatakan bahwa  bila APBA pergub, maka merujuk pada pada anggaran tahun 2017. Otomatis penambahan anggaran untuk 2018 hilang, dan visi misi Gubernur/Wakil Gubernur tidak teradopsi ke dalam APBA 2018.

Informasi yang dipublikasi, besaran APBA Rp15,14 triliun, sementara APBA 2017 senilai Rp 14,765 triliun. Ada selisih. Artinya, rupa-rupanya APBA Pergub tidaklah persis seperti APBA 2017.

Aceh adalah negeri yang tergantung pada APBA.

Persoalan politik APBA, meskipun sudah disahkan dengan Pergub, tetapi masih terus berkelanjutan. Bila dahulu eksekutif sebagai tersangka, maka sekarang legislatif yang menjadi tersangka yang menghambat APBA.

Legislatif masih mempunyai instrumen politik untuk menggugat ABPA Pergub, yakni dengan menggunakan hak interpelasi. Legislatif dapat meminta penjelasan dari eksekutif perihal kebijakan yang berdampak luas pada kehidupan bernegara. Dalam hal ini, DPRA akan meminta penjelasan Gubernur/Wakil Gubernur perihal Pergub APBA dan pelaksanaan hukuman cambuk.

Karakter pelaku politik yang tidak demokratis –meskipun berada dalam sistem yang demokratis-- telah melabrak APBA, kantong rakyat pun menjadi kosong untuk beberapa saat.*

Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda